Bisnis.com, JAKARTA – Janji dan pembicaraan mengenai pengangguran kerap dilontarkan peserta Pemilihan Presiden di Indonesia dari waktu ke waktu. Tetapi, tidak semua janji yang disampaikan calon presiden saat kampanye atau debat kandidat berhasil direalisasikan usai mereka terpilih.
Melihat ke belakang, janji menurunkan tingkat pengangguran sempat disampaikan calon presiden (capres) petahana pada Pemilu 2009, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang waktu itu berpasangan dengan Boediono. Saat berkampanye, pasangan SBY-Boediono berjanji akan mengurangi angka pengangguran hingga 5%-6% selama periode 2009-2014.
Dikutip dari Antara, Senin (18/3/2019), janji menurunkan angka pengangguran saat itu disampaikan SBY kala menggelar kampanye akbar di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno, Sabtu (4/7/2009). Ada 14 janji lain yang turut disampaikan Ketua Umum Partai Demokrat itu pada waktu bersamaan.
Mengacu ke data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di Indonesia sebesar 7,87% atau 8,96 juta orang pada 2009. Jumlah itu menurun dari angka pengangguran pada 2005, yang mencapai 11,24% atau 11,89 juta orang.
Hingga SBY dan Boediono menyelesaikan tugas sebagai presiden dan wakil presiden (wapres), angka pengangguran di Indonesia terbukti turun. Dalam rentang 2009-2014, jumlah pengangguran terbuka menyusut hingga 5,94% atau 7,24 juta orang.
Baca Juga
Pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di pabrik garmen PT Citra Abadi Sejati, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (8/9/2018)../JIBI-Nurul Hidayat
Jika dihitung, ada pengurangan jumlah penganggur sebanyak 1,72 juta orang dalam periode tersebut. Secara persentase, jumlah orang tidak bekerja berkurang hingga 1,93% pada rentang yang sama.
Janji untuk mengentaskan pengangguran di Indonesia kembali muncul dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Saat itu, baik Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo Subianto saling melempar janji menurunkan angka pengangguran.
Janji Jokowi ihwal pengangguran kala itu adalah menyediakan 10 juta lapangan kerja baru selama 2014-2019. Dia juga berjanji memberikan dana desa untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, Prabowo berjanji akan menaikkan upah buruh minimal hingga Rp6 juta per bulan di daerah. Ketua Umum Partai Gerindra itu tidak secara spesifik menyebut janji penurunan angka pengangguran, tapi dia ingin fokus mengembangkan sektor pertanian agar bisa menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru.
Pemilu 2014 berakhir dengan kemenangan Jokowi dan Jusuf Kalla. Selama memimpin hingga saat ini, Jokowi-JK tercatat sudah menciptakan sekitar 9 juta lapangan kerja baru.
Angka itu muncul dari hasil Survei Kerja Nasional (Sukernas) yang dilakukan BPS tiap tahun dan dikonfirmasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang P.S. Brodjonegoro pada November 2018.
Jika dihitung dari jumlah pengangguran, angka penduduk yang tidak bekerja sepanjang 2014-2018 turun dari 5,94% menjadi 5,34%.
Pada 2014, ada 7,24 juta orang yang masuk kategori pengangguran terbuka. Jumlahnya menciut menjadi 7 juta orang per Agustus 2018.
Tidak Spesial
Peneliti Lembaga Informasi Perburuhan Sedane Alfian Al Ayubby mengatakan tidak ada yang spesial dari penurunan angka pengangguran sepanjang 2014-2018. Alasannya, berkurangnya jumlah pengangguran dianggap tidak signifikan berjalan sepanjang periode itu.
“Kalau lihat year-on-year (yoy), tidak ada yang spesial dari klaim ini [pengangguran terendah sejak reformasi]. Angka pengangguran tidak pernah turun secara signifikan, tidak pernah di bawah 5,2%. Merujuk data BPS, angka terakhir yang tercatat pada Februari 2018, pengangguran 5,13%. Sementara itu, pada Agustus 2018, pengangguran naik jadi 5,34%,” tuturnya, Senin (18/3).
Meski dianggap tidak spesial, isu pengangguran tetap menjadi hal yang dibicarakan dalam Pemilu 2019. Terkini, pada debat putaran ketiga Pilpres 2019, Minggu (17/3), calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 dan 02, Ma’ruf Amin serta Sandiaga Uno, saling melontarkan gagasan strategi mengurangi pengangguran.
Ma’ruf mengedepankan pentingnya revitalisasi pendidikan agar banyak tenaga kerja yang terserap oleh industri di dalam negeri. Dia berjanji akan melakukan pembenahan di sisi SMK, Politeknik, dan akademi di Indonesia.
Kerja sama dengan kelompok DUDI, alias Dunia Usaha dan Dunia Industri, juga dijanjikan semakin masif dilakukan pemerintah agar tercipta link and match antara sisi suplai dengan sisi permintaan tenaga kerja.
“Kami juga akan terus mengembangkan latihan-latihan, kursus-kursus melalui BLK [Balai Latihan Kerja], BUMN, dan kursus yang bisa diaplikasi dengan digital, baik kursus yang sifatnya kepintaran, kecakapan, maupun kebugaran. Dengan demikian, tenaga kerja kita akan bersaing,” ujar Ma’ruf.
Tidak jauh berbeda dengan Ma’ruf, Sandiaga juga menyoroti minimnya link and match ketenagakerjaan di Indonesia. Oleh karena itu, dia menawarkan program Rumah Siap Kerja untuk para pencari kerja jika terpilih bersama Prabowo di Pemilu 2019.
Sandiaga berkomitmen membuat Rumah Siap Kerja di tiap kecamatan di Indonesia. Rumah Siap Kerja merupakan kepanjangan dari OK OCE, program andalan Sandiaga dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat memimpin ibu kota.
“Mereka akan mendapatkan keterampilan yang sesuai, yang dibutuhkan oleh revolusi industri 4.0. Ini adalah sebuah masa depan yang Prabowo-Sandi yakini akan mengikis jumlah pengangguran di usia muda sebanyak 2 juta dalam 5 tahun kami memerintah,” terangnya.
Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Maruf Amin dan nomor urut 02 Sandiaga Uno menyampaikan visi dan misi dalam Debat Calon Wakil Presiden Pilpres 2019 di Jakarta, Minggu (17/3/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Tawaran Ma’ruf dan Sandiaga dalam hal ketenagakerjaan dinilai sesuai konteks saat ini jika melihat data yang dihimpun lembaga Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). Berdasarkan data yang INDEF himpun dari BPS, jumlah angkatan kerja berlatar belakang pendidikan SMK dan Perguruan Tinggi (PT) yang menganggur terus naik sepanjang 2012-2018.
Jumlah penganggur lulusan SMK naik dari kisaran 1 juta orang pada 2012 menjadi sekitar 1,7 juta orang pada 2018. Adapun penganggur lulusan PT meningkat dari sekitar 400.000 orang menjadi 700.000 orang.
Kenaikan itu merupakan anomali jika dibandingkan dengan tingkat angkatan kerja menganggur berdasarkan latar belakang pendidikan lain. Jumlah penganggur lulusan SD, SMP, dan SMA cenderung turun pada periode yang sama.
Lambannya laju penurunan pengangguran diduga akibat belum sesuainya sisi suplai dan permintaan tenaga kerja di Indonesia. Sederhananya, banyak angkatan muda yang diduga tidak memiliki keahlian seperti kebutuhan dunia industri.
Upaya pemerintah menaikkan kualitas tenaga kerja dengan membuat pelatihan di BLK dianggap tidak cukup untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan. Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menyatakan BLK yang ada saat ini, kondisinya banyak yang telantar dan tertinggal dari sisi infrastruktur.
“Sehingga, tidak sesuai dengan perkembangan teknologi yang digunakan oleh industri. Oleh sebab itu, perlu kolaborasi antara Pemerintah-Swasta-Institusi pendidikan dalam meningkatkan skill tenaga kerja,” jelasnya kepada wartawan, Minggu (17/3) malam.
Ahmad juga menyinggung naiknya tingkat pengangguran terbuka di perdesaan yang ditunjukkan oleh BPS, yakni menjadi 4,04% pada 2018 dari sebelumnya 4,01% pada 2017, meski sudah ada dana desa.
Jika melihat data BPS secara keseluruhan, tingkat pengangguran terbuka di perdesaan sebanyak 4,93% pada 2015 dan turun lagi menjadi 4,51% pada 2016.
Di sisi anggaran, alokasi dana desa dari pemerintah tercatat sebesar Rp20,67 triliun pada 2015, Rp46,98 triliun pada 2016, Rp60 triliun pada 2017 dan 2018. Untuk tahun ini, nilainya dinaikkan menjadi Rp70 triliun.
Warga berkendara di jalan yang dibangun mengunakan dana desa 2018, di Desa Laladon, Bogor, Jawa Barat, Jumat (28/12/2018)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya
Menanggapi program yang diajukan Ma’ruf dan Sandiaga untuk isu ketenagakerjaan, peneliti INDEF Esa Suryaningrum menganggap pada dasarnya, kedua cawapres sudah memiliki konsep bagus untuk mengatasi persoalan tenaga kerja.
Dia menyoroti pentingnya implementasi program yang dijanjikan dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan dalam hal ketenagakerjaan. Menurut Esa, program Rumah Siap Kerja dari Sandiaga dan revitalisasi institusi pendidikan versi Ma’ruf tak bisa dilakukan semata oleh pemerintah.
“Kedua program ini harus menggandeng tiga aktor terkait, yaitu tenaga kerja, pusat pelatihan dan industri. Pemerintah hanya sebagai fasilitator seperti yang dilakukan Singapura, kita bisa contoh,” pungkasnya.
Semoga, lewat kemitraan dengan seluruh pemangku kepentingan, berbagai komitmen yang disampaikan kedua pasangan peserta Pilpres 2019 tak berakhir dengan kata-kata "janji tinggal janji".