Bisnis.com, JAKARTA -- Ancaman perlambatan ekspor Indonesia akibat kondisi global tidak menyurutkan optimisme bank sentral dalam menyasar defisit transaksi berjalan yang lebih rendah tahun ini.
Bank Indonesia (BI) tetap meyakni defisit transaksi berjalan akan turun ke kisaran 2,5% terhadap PDB pada 2019.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menuturkan pihaknya memperkirakan defisit 2,5% terhadap PDB dengan melihat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada tahun ini.
"Kami mengatakan 2,5% dari PDB, dengan angka penyebut yaitu PDB nominal yang membesar karena growth 5%-5,4%," sebutnya, Rabu (23/1/2019).
BI memperkirakan pertumbuhan 2019 masih dalam asumsi 5%-5,4% dengan nilai tengah 5,2%, dengan sumber pertumbuhan berasal dari permintaan domestik, konsumsi, dan investasi. Menurut Dody, Pilpres dan Pileg pada semester I/2019 menjadi salah satu faktor yang diperkirakan mampu menjaga konsumsi masyarakat tetap tinggi.
Hal ini didukung pula oleh beberapa hasil survei BI tentang konsumen, pedagang eceran, dan Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang semuanya relatif menunjukkan minat masyarakat dalam konsumsi, termasuk perdagangan eceran serta investasi, dalam 3 bulan dan 6 bulan ke depan tetap positif.
Secara umum, tekanan eksternal ini akan dihadapi oleh sektor ekspor Indonesia.
Namun, BI berkeyakinan impor akan berkurang sejalan dengan hampir selesainya beberapa proyek infrastruktur pemerintah, dampak dari kenaikan suku bunga kebijakan sejak 2018, dan juga sejumlah kebijakan pemerintah terkait pengendalian impor seperti B20 yang akan memperbaiki kinerja neraca dagang.
Selain itu, inisiatif pemerintah mendorong pariwisata sebagai salah satu sumber utama penghasil devisa dengan target 20 juta turis diharapkan membantu menaikkan surplus transaksi jasa dan pada akhirnya memperbaiki transaksi berjalan.
Secara umum, dia mengakui perekonomian dunia 2019 berisiko lebih lambat disebabkan pertumbuhan ekonomi AS, Eropa, dan China cenderung bias ke bawah, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya. Ketidakjelasan penyelesaian tensi perdagangan AS-China, terhambatnya proses Brexit, dan isu geopolitik di beberapa kawasan dunia menyebabkan ketidakpastian perekonomian serta pasar keuangan global belum mereda.
Alhasil, perlambatan ekonomi dunia berdampak pada menurunnya permintaan dunia dan rendahnya harga komoditas dunia.
Khusus China, data surplus neraca perdagangan yang menurun, transaksi berjalan yang defisit, dan koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi berdampak signifikan pada tingkat keyakinan, khususnya di negara berkembang yang relatif memiliki hubungan perdagangan yang kuat dengan Negeri Panda.
Hal ini yang kurang lebih dinilai oleh IMF dalam laporan World Economic Outlook (WEO) terakhir, yang memberi pandangan tentang koreksi proyeksi perekonomian dunia.
Namun, Dody menegaskan BI telah memperhitungkan risiko koreksi ke bawah outlook perekonomian dunia, AS, dan China dalam penyusunan proyeksi pertumbuhan 2019.