Bisnis properti di tahun 2018 masih belum menunjukkan pemulihan. Sikap masyarakat yang menunggu kepastian hasil pemilihan umum dan pilpres dianggap sebagai salah satu penyebab.
Padahal, semua stake holder sudah berupaya optimal untuk menggairahkan pasar yang mengalami kelesuan setelah era booming 2012-2013. Tahun ini Bank Indonesia merilis kebijakan relaksasi rasio loan to value bagi pembelian rumah pertama, sehingga perbankan bisa menawarkan uang muka rendah, tidak harus 10% seperti sebelumnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga merilis relaksasi, yaitu penghapusan larangan bagi bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan untuk pengolahan tanah kepada pengembang, khususnya untuk rumah tapak dan rumah susun.
Selain itu, ada wacana pemerintah untuk menghapus pajak penjualan barang mewah (PPnBM) dan pajak penghasilan (PPh) 22 untuk menggairahkan hunian kelas menengah atas. Terakhir, adalah kebijakan yang disiapkan pemerintah terkait skema pembiayaan yang diperluas. Selama ini penikmat skema pembiayaan dalam fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan batasan penghasilan tertentu.
Skema ini akan diperluas sasarannya kepada aparat sipil negara (ASN), anggota TNI dan Polri, serta belakangan juga memasukkan generasi milenial.
Sementara itu, pekerjaan rumah pemerintah yang masih ditunggu pengembang, adalah hasil revisi batasan harga jual maksimal rumah bersubsidi. Daftar ini akan menjadi acuan bagi pengembang rumah bersubsidi dalam menentukan harga jual unit huniannya.
Baca Juga
Apabila pemerintah belum juga mengeluarkan batasan harga baru tersebut, dikhawatirkan pengembang juga menahan penjualan unitnya, karena menganggap harga yang berlaku saat ini sudah tidak menutup ongkos produksi.
Pengembang juga menunggu revisi aturan hunian berimbang yang saat ini dengan komposisi pembangunan 1:2:3. Artinya, pembangunan satu unit rumah mewah, pengembang wajib membangun dua rumah kelas menengah dan tiga rumah sederhana. Pengembang sebelumnya menuntut agar aturan itu lebih fleksibel, tidak harus dalam satu kabupaten/kota.
Sebagai catatan positif, tahun ini target program pembangunan sejuta rumah bisa tercapai setelah tahun-tahun sebelumnya tidak pernah terwujud. Per tanggal 3 Desember 2018 sudah terbangun 1.076.856 unit rumah.
Pengembang pun pada tahun ini juga merilis sejumlah proyek hunian, baik tapak, vertikal maupun mixed use dengan sasaran dari MBR hingga hunian mewah, yang nilainya di atas Rp40 juta per m2.
Yang paling menarik adalah rencana Direktur Utama PT Hanson International Tbk., Benny Tjokrosaputro yang akan membangun kota baru bernama Grand Jakarta di selatan Jakarta dan Tangerang seluas 15.000 hektare dalam kurun waktu 5-20 tahun.
Guna merealisasikan Grand Jakarta, emiten berkode MYRX itu membutuhan dana sekitar Rp15 triliun sampai Rp20 triliun, dengan sumber dana melalui rights issue untuk membebaskan sisa lahan sekitar 11.000 hektare. Perusahaan juga sedang menjajaki pembangunan jalan tol dengan Wijaya Karya.
Sementara itu, Lippo Group yang pada 2017 membuat kejutan dengan melakukan penjualan dan promosi proyek Meikarta secara masif, tahun ini seperti menahan diri. Bahkan proyek tersebut sempat tersandung kasus suap yang ditangani KPK.
Proyek yang menarik perhatian lainnya adalah perkembangan reklamasi Teluk Jakarta. Proyek ini oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan sempat resmi dicabut izin prinsip dan pelaksanaan proyek pembangunan 13 pulau buatan yang dikembangkan swasta.
Gubernur akhirnya menyerahkan pengelolaan tiga pulau reklamasi yang sudah terbangun, yaitu Pulau C, D dan pulau G kepada badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta yakni PT Jakarta Propertindo (Jakpro).