Bisnis.com, JAKARTA - Sederet wacana maupun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sepanjang 2024 turut berdampak pada industri pariwisata. Sejumlah kebijakan yang diterbitkan bahkan memicu kekhawatiran di tengah pemulihan pascapandemi Covid-19.
Mengawali 2024, industri pariwisata harus dihadapkan dengan kenaikan pajak hiburan menjadi 40%-75%. Tarif tersebut diberlakukan atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Di sisi lain, pada masa pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), muncul wacana pembentukan Dana Pariwisata Berkelanjutan atau yang dikenal juga dengan nama Indonesia Tourism Fund (ITF).
Rencana pembentukan ITF yang sebelumnya mendapat sambutan positif dari pelaku industri pariwisata lantas berubah usai adanya wacana untuk memungut iuran pariwisata melalui tiket pesawat. Tak heran, baik pelaku usaha maupun masyarakat ramai-ramai menolak wacana tersebut lantaran dinilai dapat menghambat pariwisata Tanah Air.
Berikut deretan peristiwa penting di sektor pariwisata sepanjang 2024:
1. Kenaikan Pajak Hiburan
Pemerintah melalui Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah resmi menyesuaikan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan untuk penjualan atau konsumsi barang dan jasa tertentu seperti makanan dan minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan.
Merujuk pada pasal 58 ayat 1, tarif PBJT ditetapkan maksimal 10%. Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, pemerintah menetapkan tarif pajak minimal 40% dan maksimal 75%.
Baca Juga
Sebetulnya, ini bukanlah kebijakan yang baru terbit pada 2024. Sebab, beleid ini telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 5 Januari 2022 dan mulai berlaku paling lama 2 tahun sejak regulasi tersebut disahkan.
Kenaikan pajak hiburan dinilai dapat mematikan industri pariwisata lantaran para pelaku usaha belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19.
“Semua pengusaha di seluruh Indonesia, khususnya hiburan, benar-benar sedang berjuang untuk kembali pulih,” kata Ketua Perkumpulan Pengusaha Hiburan Indonesia (Perphindo), Hana Suryani.
Ketua Asosiasi SPA Terapis Indonesia (Asti), Mohammad Asyhadi, mengungkapkan, pelaku usaha kian terbebani dengan pajak yang besar. Pasalnya, selain pajak PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak PPN sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5%-35%, tergantung penghasilan kena pajak atau PKP.
“Kami sepakat untuk melakukan judicial review sehingga pada 3 Januari kita ke MK, kemudian diterima secara resmi itu 5 Januari 2024,” kata Ketua Asti Mohammad Asyhadi dalam konferensi pers di Taman Sari Royal Heritage SPA, Kamis (11/1/2024).
Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) juga mengambil langkah serupa. Ketua Umum Gipi, Hariyadi Sukamdani, mengatakan, gugatan yang diajukan bertujuan melindungi sektor jasa hiburan secara keseluruhan.
“Itu harus dibatalkan, kalau nggak, bermasalah. Payung hukumnya tarif kan di situ, gimana caranya kalau nggak dibatalkan,” jelas Hariyadi kepada Bisnis, Kamis (18/1/2024).
Usai mendapat berbagai penolakan dari pelaku usaha jasa hiburan, Luhut Binsar Pandjaitan yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) mengumumkan untuk menunda penerapan pajak hiburan.
Usai melakukan pertemuan dengan instansi terkait termasuk Gubernur Bali, pemerintah sepakat untuk menunda, sekaligus melakukan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sembari menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi kita mau tunda dulu saja pelaksanaannya itu satu karena itu dari Komisi XI DPR RI kan itu sebenarnya, jadi bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu,” kata Luhut melalui Instagram resminya, Rabu (17/1/2024).
Meski telah ditunda, para pelaku usaha masih belum bisa bernafas lega. Pasalnya, pajak hiburan masuk dalam kewenangan daerah. Untuk itu, para pengusaha menunggu keputusan resmi dari masing-masing pemerintah daerah.
Hariyadi Sukamdani mengaku belum menerima informasi resmi ihwal penundaan kenaikan pajak hiburan dari pemerintah daerah. “Misalnya DKI Jakarta sudah mengeluarkan Perda No.1/2024, itu gimana apakah Pj Gubernur [Heru Budi Hartono] mau nunda atau gimana? Kita belum tahu mekanismenya,” jelasnya.
2. Wacana Pungutan Iuran Pariwisata via Tiket Pesawat
Pada April 2024, pemerintah sempat menggodok wacana pungutan Dana Pariwisata melalui tiket pesawat. Rencana kebijakan terungkap dalam pembahasan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan atau Indonesia Tourism Fund (ITF).
Dana tersebut rencananya akan dimanfaatkan untuk menggelar konser, MICE (Meeting, Incentive, Conference, dan Exhibition), kegiatan olahraga, serta kegiatan lain yang mampu menarik wisatawan ke Indonesia, membangun nation branding, dan menjadi penyelenggara kegiatan berkualitas tingkat dunia.
Awalnya, rencana tersebut mendapat respons positif dari industri pariwisata. Apalagi, salah satu sumber dana pariwisata berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), hasil investasi, dan atau sumber dana lainnya yang sah.
Namun, hal tersebut langsung berubah ketika pemerintah berencana untuk memungut iuran pariwisata melalui tiket pesawat. Hal ini awalnya terungkap dari adanya undangan rapat koordinasi pembahasan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Dana Pariwisata Berkelanjutan.
Undangan dengan agenda pengenaan iuran pariwisata melalui tiket penerbangan itu pertama kali diungkapkan oleh Anggota Dewan Pakar Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Alvin Lie dalam akun twitternya @alvinlie21.
Undangan tersebut lantas membuatnya bertanya-tanya. Pasalnya, pemerintah kerap menuding harga tiket pesawat sebagai penghambat pariwisata.
“Sekarang pemerintah malah akan bebankan iuran pariwisata untuk dititipkan pada harga tiket pesawat. Konsumen taunya harga tiket yang naik, padahal uangnya bukan ke airline. Piye toh iki?,” tulis Alvin, dikutip Senin (22/4/2024).
Usai mendapat beragam kritikan, Sandiaga Salahuddin Uno yang kala itu menjabat sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) memastikan rencana pemerintah memungut iuran pariwisata melalui tiket pesawat tidak akan membebani penumpang.
Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini menyebut, rencana pemungutan iuran tersebut masih dalam tahap kajian pemerintah.
“Jangan khawatir tidak akan membebani masyarakat dengan harga tiket yang lebih mahal lagi,” kata Sandi dalam konferensi pers di Kantor Kemenparekraf, Senin (22/4/2024).
3. Pembahasan RUU Kepariwisataan
Pada September 2024, Gipi meminta agar pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Kepariwisataan ditunda dan dilanjutkan oleh DPR RI dan pemerintah mendatang.
Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani, menyampaikan, isi draft RUU Kepariwisataan yang saat ini sudah dikeluarkan dua versi oleh DPR yaitu versi 2 Juli 2022 dan versi 5 April 2024 belum selaras dengan aspirasi pelaku pariwisata.
Bahkan, dalam rapat bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) pada 20 Agustus 2024, Hariyadi menyebut bahwa banyak pelaku usaha di sektor ini yang merasa keberatan dengan substansi draft RUU tersebut, sehingga DPR dan pemerintah perlu membahas lebih dalam mengenai rancangan beleid ini.
Namun, mengingat masa kerja DPR periode 2019-2024 dan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir pada Oktober 2024, pihaknya meminta agar pembahasan RUU Pariwisata dilanjutkan oleh DPR dan pemerintahan baru.
“Hal ini perlu kami ingatkan, karena kami tidak mau kecolongan lagi dalam injury time undang-undang disahkan tanpa partisipasi publik secara luas,” kata Hariyadi dalam konferensi pers, Rabu (4/9/2024).
Salah satu yang menjadi sorotan pelaku usaha adalah munculnya nama Lembaga Kepariwisataan Indonesia dalam draft tersebut. Nama itu muncul dalam draft RUU Kepariwisataan Pasal 66A ayat 1.