Bisnis.com, JAKARTA - Negara-negara berkembang dinilai perlu proaktif mendiversifikasikan investasi, perdagangan dan pariwisata untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas T. Lembong dalam pidatonya di ajang China International Fair for Investment & Trade (CIFIT) 2018.
Di hadapan sejumlah pemimpin negara, Thomas menjelaskan bahwa ancaman terbesar saat ini yang dihadapi negara berkembang adalah ketergantungan yang berlebihan terhadap dolar AS. Alhasil, kondisi itu memberikan beban yang berat terhadap keuangan negara. Padahal, negara berkembang justru menyumbangkan hingga 60% pada pertumbuhan ekonomi dunia.
"Oleh karenanya, di tengah ketidakpastian dan tantangan yang semakin besar, merupakan hal yang mendesak bagi negara berkembang untuk secara proaktif mendiversifikasikan investasi, perdagangan dan pariwisata untuk menjauh dari dolar AS dan beralih ke mata uang lain seperti pound sterling, euro, yen, dan bahkan renminbi," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (11/9).
Untuk mengatasi hal ini, Thomas mengatakan negara berkembang juga perlu menenemukan solusi yang visionaris dan berani. Indonesia, jelasnya, sebagai negara ke-4 dengan populasi terbesar di dunia, yaitu 260 juta jiwa dan 60% penduduknya berusia di bawah 30 tahun, serta ekonomi terbesar ke-16 dengan GDP di atas 1 triliun, memiliki potensi untuk melakukan solusi itu dengan kondisi hubungan yang baik dengan China.
Indonesia juga siap mengembangkan kerja sama lebih jauh dengan China dan berbagai negara di dunia untuk saling mendukung, mendukung kawasan dan dunia, serta mendukung sama lain.
"Hal ini mengingat Indonesia juga memiliki kesamaan prinsip yaitu mendukung multilateralisme dan sistem global yang berdasarkan pada peraturan yang ada," tegasnya.
Sebagai informasi, CIFIT diselenggarajan pada 8--11 September di Xiamen International Conference and Exhibition Center di Xiamen, Provinsi Fujian, China. Kegiatan ini terdiri atas seminar, forum investasi internasional, pameran, dan symposium business matchmaking di atas lahan seluas 138.000 meter persegi.
Pada 2016, CIFIT dihadiri oleh lebih dari 120.000 pengunjung dan dimanfaatkan oleh 5.000 exhibitors dari berbagai belahan dunia. Pelaksanaannya tahun ini dipastikan melampaui jumlah tersebut.
Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Kepala BKPM beserta pihak swasta memanfaatkan kegiatan CIFIT untuk meningkatkan investasi ke Indonesia melalui forum investasi internasional, pameran, dan pelaksanaan market sounding dan pertemuan kerja sama dengan pihak-pihak lainnya.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas T. Lembong dalam pidatonya di ajang China International Fair for Investment & Trade (CIFIT) 2018.
Di hadapan sejumlah pemimpin negara, Thomas menjelaskan bahwa ancaman terbesar saat ini yang dihadapi negara berkembang adalah ketergantungan yang berlebihan terhadap dolar AS. Alhasil, kondisi itu memberikan beban yang berat terhadap keuangan negara. Padahal, negara berkembang justru menyumbangkan hingga 60% pada pertumbuhan ekonomi dunia.
"Oleh karenanya, di tengah ketidakpastian dan tantangan yang semakin besar, merupakan hal yang mendesak bagi negara berkembang untuk secara proaktif mendiversifikasikan investasi, perdagangan dan pariwisata untuk menjauh dari dolar AS dan beralih ke mata uang lain seperti pound sterling, euro, yen, dan bahkan renminbi," ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (11/9).
Untuk mengatasi hal ini, Thomas mengatakan negara berkembang juga perlu menenemukan solusi yang visionaris dan berani. Indonesia, jelasnya, sebagai negara ke-4 dengan populasi terbesar di dunia, yaitu 260 juta jiwa dan 60% penduduknya berusia di bawah 30 tahun, serta ekonomi terbesar ke-16 dengan GDP di atas 1 triliun, memiliki potensi untuk melakukan solusi itu dengan kondisi hubungan yang baik dengan China.
Indonesia juga siap mengembangkan kerja sama lebih jauh dengan China dan berbagai negara di dunia untuk saling mendukung, mendukung kawasan dan dunia, serta mendukung sama lain.
"Hal ini mengingat Indonesia juga memiliki kesamaan prinsip yaitu mendukung multilateralisme dan sistem global yang berdasarkan pada peraturan yang ada," tegasnya.
Sebagai informasi, CIFIT diselenggarajan pada 8--11 September di Xiamen International Conference and Exhibition Center di Xiamen, Provinsi Fujian, China. Kegiatan ini terdiri atas seminar, forum investasi internasional, pameran, dan symposium business matchmaking di atas lahan seluas 138.000 meter persegi.
Pada 2016, CIFIT dihadiri oleh lebih dari 120.000 pengunjung dan dimanfaatkan oleh 5.000 exhibitors dari berbagai belahan dunia. Pelaksanaannya tahun ini dipastikan melampaui jumlah tersebut.
Delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Kepala BKPM beserta pihak swasta memanfaatkan kegiatan CIFIT untuk meningkatkan investasi ke Indonesia melalui forum investasi internasional, pameran, dan pelaksanaan market sounding dan pertemuan kerja sama dengan pihak-pihak lainnya.