Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mengusulkan penambahan produk-produk pertanian dan perikanan Indonesia yang mendapatkan pembebasan atau penurunan bea masuk dalam pakta dagang Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, penurunan bea masuk (BM) produk pertanian dan perikanan Indonesia ke Jepang akan menjadi fokus perundingan dalam pertemuan evaluasi IJEPA di Tokyo pada 8—10 Agustus 2018.
Di samping itu, ungkapnya, Indonesia akan mengajukan penurunan BM ke Jepang untuk sejumlah produk industri nasional lain dan berupaya mendongkrak pengiriman tenaga perawat ke Negeri Sakura.
“Untuk perikanan dan pertanian tidak banyak [jumlah pembebasan atau penurunan BM], tetapi produk-produk yang kita usulkan nanti sangat penting bagi Indonesia,” kata Iman kepada Bisnis, Minggu (5/8/2018).
Kendati demikian, dia tidak bersedia menyebutkan apa saja produk pertanian dan perikanan yang akan diusulkan dalam pertemuan evaluasi IJEPA tersebut. Pasalnya, proses perundingan masih berjalan dan berpeluang berubah setiap waktu.
Selain itu, lanjut Iman, Indonesia akan mendorong perbaikan program pengembangan industri atau Manufacturing Industrial Development Center (MIDEC) yang digagas kedua negara. Langkah tersebut dibutuhkan untuk mendongkrak keterlibatan industri RI dalam rantai pasok produk-produk Jepang.
PEMANFAATAN MINIM
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan, sejauh ini tingkat utilisasi IJEPA rata-rata baru mencapai 30% per tahunnya, sejak pertama kali dilaksanakan pada 2008.
Kondisi tersebut, menurutnya, disebabkan oleh keterbatasan pelaku bisnis dan pemerintah Indonesia dalam memanfaatkan sejumlah insentif dari pakta dagang tersebut.
“Indonesia selama ini terhalang pemanfaatannya karena terbatasnya kemampuan birokrat atau pelaku dalam menerbitkan surat keterangan asal [SKA] atau certificate of origin [COO],” ujarnya.
Fakta itu, lanjut Fitrha, membatasi kemampuan pelaku bisnis Tanah Air yang sektornya mendapatkan insentif berupa User Specific Duty Free Scheme (USDFS) untuk meningkatkan kapasitas industrinya dan kemampuan ekspornya. Sektor-sektor itu a.l. teknologi informasi, kendaraan, dan komponen.
Selain itu, dia juga menyoroti daya saing produk ekspor Indonesia untuk masuk dalam rantai pasok produk buatan Jepang. Indonesia, dinilainya kalang saing dengan Thailand, Malaysia dan Vietnam, lantaran tingginya biaya produksi dan terbatasnya kapasitas industri nasional.
“Untuk tenaga kerja, upah pekerja Indonesia tidak terlalu tinggi atau rendah. Persoalannya ada di produktivitas pekerja Indonesia yang rendah, sehingga harga produknya tetap mahal. Kapasitas produksinya juga terbatas,” paparnya.
Terkait dengan pemanfaatan MIDEC, Fithra mengklaim kebijakan tersebut tidak memiliki nilai manfaat yang besar bagi Indonesia. Padahal, sejatinya MIDEC diharapkan mampu mengkompensasi ketidaksiapan industri dalam negeri untuk memanfaatkan IJEPA.
“Orang-orang yang dikirim untuk ikut pelatihan di Jepang justru birokratnya, bukan orang yang memang incharge di bidangnya. Sehingga tidak ada nilai tambah apapun,” jelasnya.
Sementara itu, untuk penyaluran tenaga kerja, terutama pramurukti (care givers) dan perawat, Fithra melihat persolan ada di sumber daya manusia yang belum mumpuni berbahasa Jepang. Alhasil, serapan perawat dan pramurukti RI di Jepang hanya berkisar 2% tiap tahunnya.
Dari kalangan pelaku usaha, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengungkapkan, sejumlah produk ekspor perikanan Indonesia masih belum menikmati pembebasan bea masuk ke Jepang.
Menurtnya, salah satu produk ekspor andalan Indonesia yang belum menikmati pembebasan BM adalah tuna kaleng yang masih dikenai tarif 6,5%. Berdasarkan data AP51 ekspor ke Jepang memiliki porsi 15% dari total ekspor perikanan Indonesia pada tahun ini.
“Sebenarnya mayoritas produk perikanan Indonesia sudah mendapat bea masuk 0% dalam IJEPA seperti udang, teri nasi dan gurita. Namun, apabila ada perluasan pembebasan bea masuk produk lain, kami sangat apresiasi,” kata Budhi.
Dia berpendapat, secara tren, pertumbuhan nilai ekspor produk perikanan Indonesia ke Jepang relatif stagnan. Hal tersebut tetap terjadi kendati para produsen memperoleh BM ke Jepang yang rendah.
“Kapasitas produksi dalam negeri memang terbatas. Jadi meskipun pasar di Jepang luas, ekspor kami tetap belum mampu naik signifikan,” katanya.