Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha produk kayu berharap pemerintah mempercepat pencairan restitusi pajak pertambahan nilai kayu bulat untuk mendongkrak daya saing industri kayu lapis nasional.
Pengurus Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Bidang Pemasaran dan Hubungan Internasional Gunawan Salim mengatakan pengenaan PPN 10% terhadap pembelian log selama ini mengganggu modal kerja industri plywood. Adapun biaya pembelian bahan baku sendiri menelan sekitar 60% biaya produksi.
PPN, jelas dia, memang dapat direstitusi saat produk olahannya diekspor. Namun, pengembalian kelebihan pembayaran pajak itu memakan waktu yang lama hingga 1,5 tahun.
"Sudah jelas sekali pengaruh ke daya saing kita. Bayangkan kalau biaya kayu itu 60% [dari biaya produksi]. Kali 1,5 tahun, berarti 90% modal kerja kami ketahan di sana," kata Gunawan kepada Bisnis baru-baru ini.
Biasanya, pelaku usaha mengajukan pinjaman ke bank untuk menambal kebutuhan modal kerja. Sayangnya, kadang perbankan enggan menyalurkan kredit karena stereotip industri kehutanan tidak mendukung keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, ada pandangan yang menganggap industri kehutanan sebagai sunset industry.
"Bank-bank kadang [berpikir] support ke ini [industri kehutanan], [berarti] motong hutan. Susah kan? Walaupun kami ngomong kami sustain management, tapi mereka takut dulu," ungkap Gunawan.
Apkindo, lanjut dia, sudah berulang kali menyampaikan usulan percepatan pencairan restitusi kepada pemerintah.
"Ada sih isu katanya [pencairan restitusi] mau dipercepat jadi 3 bulan. Tapi selama itu belum diketok, kan kami enggak [bisa berharap]," katanya.
PPN log berdiameter minimal 30 cm sempat dibebaskan melalui Peraturan Pemerintah No 31/2007, tetapi kemudian dikenakan kembali setelah keluar Putusan Mahkamah Agung No 70P/HUM/2013 pada 25 Februari 2014.
Apkindo memandang pengenaan PPN terhadap pembelian kayu bulat sebetulnya tak tepat karena log merupakan bahan mentah alias tak memiliki nilai tambah apapun.