Bisnis.com, SINGAPURA—PT Adaro Energy Tbk berambisi menjadi salah satu pemain terbesar bisnis coking coal menyusul akuisisi terhadap Kestrel Coal Mine, perusahaan batu bara di Australia.
Dirut Adaro Garibaldi Thohir mengatakan, Kestrel merupakan produsen coking coal dengan produksi 5,5 juta ton per tahun. Saat ini, dari tambang di Kalimantan Tengah, Adaro memproduksi batu baru yang banyak digunakan untuk industri baja tersebut sebesar 1 juta ton pertahun.
“Ambisi kami menjadi salah satu pemain utama dengan total produksi 20 juta ton pertahun dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Di bisnis ini, tiga besar adalah BHP Billiton, Rio Tinto, dan satu perusahaan milik pemerintah Rusia,” tutur Garibaldi dalam kunjungan ke Coaltrade Service International Pte Ltd, anak usaha Adaro di Singapura, Sabtu (28/4).
Adaro bersama EMR, sebuah perusahaan private equity tengah menyelesaikan transaksi pembelian 80% saham Kestrel milik Rio Tinto. Nilai transaksi ini mencapai US$2,25 miliar, dengan kontribusi Adaro 45% diantaranya.
Garibaldi menambahkan untuk menjadi negara industri, Indonesia memerlukan industri baja yang lebih maju. Ketersedian batubara kokas (coking coal) akan memudahkan pengolahan baja.
Pengembangan coking coal, memang tengah menjadi perhatian Adaro. Dengan menambah coking coal, Garibaldi menjelaskan pihaknya bisa menembus pasar industri besi dan baja di Indonesia.
Jika selama ini pihak industri besi dan baja masih mengimpor kokas dari Cina, ke depan Adaro berencana untuk memasok kebutuhan coking.
Tahun ini, Adaro menyiapkan modal sebesar 200 juta hingga 300 juta dolar untuk mengembangkan batubara jenis tersebut.
Garibaldi Tohir menjelaskan langkah pengembangan ke coking coal ini dilakukan perusahaan untuk memperluas pasar. Jika selama ini Adaro Mining, lebih fokus pada produksi thermal coal yang dipakai untuk pembangkit, Dia melihat prospek coking coal ke depan juga cerah.