Bisnis.com, JAKARTA -- Di tengah sesi kuliah Umum di Harvard Kennedy School, Boston, Amerika Serikat, medio Maret 2018, seorang mahasiswi bertanya kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Apa yang perlu dilakukan oleh seorang perempuan agar sukses?
Pertanyaan ini memang sedikit menyimpang dari tema kuliah umum, The State Fisheries in Indonesia & Beyond, tetapi Susi tetap menjawabnya dengan ringan. Menurutnya, perempuan kalau hendak melakukan sesuatu, tak perlu terlalu memikirkan keperempuanannya.
Karena perempuan terlalu terbebani gender, maka hanya makin mendorong pandangan masyarakat dari sudut kepentingan jenis kelamin. Ujungnya, tidak ada kemajuan. Perempuan dengan beban ini justru akan stagnan, alias gagal move on.
Susi lalu mencontohkan agar kita harus mulai untuk berbicara ‘apa yang bisa kita lakukan?’, bukan berpikir ‘apa yang bisa kita lakukan sebagai perempuan?”. Jadi cara berpikirnya yang harus dibalik karena orang pada dasarnya sama, tidak bisa dari pijakan karena seorang wanita.
Hadirin yang hadir dalam kuliah tersebut serentak memberikan tepuk tangan untuk jawaban Susi kali ini, sama meriahnya dengan aplaus ketika Susi bercerita soal penenggelaman kapal pencuri ikan, ataupun meningkatnya volume biomassa laut Indonesia.
Jawaban Susi ini mengingatkan saya pada Milan Kundera dalam novel The Book Of Laughter and Forgetting.
Cara perempuan melawan pandangan kaum lelaki yang cenderung merendahkan adalah dengan mengubah objeknya.
Menurut Kundera, jika pandangan diubah jadi objek, bisa saja perempuan balik memandang lelaki itu dengan tatapan sebuah objek. Ibarat palu yang tiba-tiba memiliki mata dan menatap tajam si pekerja yang menggenggamnya. Ketika si pekerja melihat tatapan palu itu, dia kehilangan keyakinan diri dan memukul jempolnya sendiri.
Ini sebenarnya sebangun dengan pandangan Susi, hingga dia meminta kepada para perempuan untuk bertindak bukan karena alasan gender. Dia sedang mengajak perempuan untuk bertindak selayaknya manusia berpikir, dan bisa menjadi apapun yang dimaui.
Jadi dalam pemahaman saya, cara inilah yang dipakai Menteri Susi dalam bertindak, melepaskan diri sudut pandang gender dalam bertindak. Hasilnya, Susi bisa menjadi dirinya sendiri, lalu menjadi menteri yang mengedepankan idealisme dengan tujuan spesifik; mengembalikan kekayaan dan kejayaan laut Indonesia.
Dengan demikian, kedudukan Susi sebagai menteri paling populer bukan karena dia perempuan, tetapi karena kapasitas kemanusiaannya. Orang tetap mengenal Susi sebagai seorang perempuan bertato, gemar merokok, dan berani mengambil keputusan kontroversial.
Namun, idealisme dalam karut-marut kepentingan politik saat ini bukan tanpa risiko. Menteri seperti Susi, lebih terlihat kesepian di dalam kabinet. Seperti saat tiba-tiba kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan dilucuti sebagai pemberi rekomendasi ekspor garam industri.
Dia bukan tidak menyadari situasi ini, termasuk dorongan untuk lebih mau berkompromi dalam mengambil kebijakan. Susi, sejauh ini tidak alergi terhadap konflik.
Pernah suatu ketika dia bercerita, salah satu atasannya di kabinet bertanya soal kebijakan dalam menangkap dan menenggelamkan kapal pencuri ikan. “Pernah enggak Bu Menteri memperhitungkan perasaan mereka yang kapalnya ditembaki dan ditenggelamkan?”. Pertanyaan ini terdengar naif. Susi memilih diam.
Pertanyaannya, dalam kabinet Jokowi, kehadiran menteri seperti Susi ini lebih sebagai aset atau liabilitas? Tergantung dari sudut siapa masalah ini dipandang. Namun, ketika idealisme diutamakan tanpa mencoba membawanya ke ranah kompromi, kans terjadi benturan kepentingan tak terhindarkan.
***
Manusia, apakah itu lelaki atau perempuan, paling enak memang menjadi diri sendiri. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Bahkan, bagaimana cara berjalan di atas catwalk, seseorang bisa jadi dirinya sendiri. Apa yang spontan dan natural, justru sering tampak lebih indah.
Seperti juga Susi yang tetap berjalan cepat, saat menjadi model peragaan busana kebaya karya Anne Avantie, beberapa pekan lalu. Berbeda dengan model sungguhan, Susi terlihat berjalan bergegas, tak berbeda jauh dari cara jalan sehari-hari.
“Saya harus jalan seperti apa [kalau jadi model]. Enggak bisa itu, makanya bagian bawah kain saya gunting biar bisa leluasa melangkah,” tutur Susi, ketika setengah bergurau saya bertanya mengapa cara jalannya seperti orang sedang mengejar kapal pencuri ikan.
Dalam tayangan video yang viral, Susi memang tampak bergegas berjalan dengan mengenaikan kebaya merah menyala dipadu dengan bawahan kain batik dan selendang hijau. Di tengah panggung dia sempat berhenti, memberi hormat penonton. Beberapa langkah kemudian dia berhenti lagi, dan kembali mengangguk hormat lagi. “Saya baru tahu kalau ada Ibu Mufidah Jusuf Kalla di situ,” katanya terkekeh.
Susi tak berubah, taktis; dan mungkin memiliki naluri inovasi seorang birokrat yang agak langka. Pernah pada suatu ketika, produsen minuman berenergi membujuknya agar mau menjadi bintang iklan. Manajemen produsen itu ragu-ragu apakah Susi berkenan, apalagi dia seorang pejabat publik.
“Mengapa tidak? Asal honornya cocok. Ayo saja,” jawab Susi tanpa ragu. Jawaban itu sungguh di luar dugaan. Lebih mengejutkan lagi, Susi minta upah berupa 200 rumah nelayan senilai Rp50 juta per unit dan perahu senilai Rp55 juta per unit yang nanti dibagikan gratis kepada para nelayan.
Lucunya, produsen minuman ini sempat salah hitung nilai honor. Perkiraan mereka hanya perlu merogah kocek Rp2,1 miliar, tetapi setelah dihitung lagi ternyata bernilai Rp21 miliar. Cukup sekali bertemu Susi, mereka minta waktu untuk pikir-pikir.
***
Susi sebagai satu-satunya menteri kabinet yang tidak sampai lulus SMA adalah sebuah keunikan. Meskipun begitu, dia tetap mengatakan pendidikan itu penting, dan belum tentu orang lain seberuntung dirinya; menjadi pengusaha perikanan, lalu diangkat oleh Presiden Jokowi sebagai menteri.
Imaji tentang Susi ini juga bisa menjelma jadi apa saja, seperti dalam sebuah lukisan Susi Duyung, karya Hari Budiono, yang kini mengelola Balai Soedjatmoko Solo. Lukisan tersebut tentang sosok perempuan seksi yang muncul muncul bak ksatria dengan senapan laras panjang di tangan kanan dan pedang di punggung.
Ia terlihat heroik dengan balutan baju ksatria layaknya tokoh film Xena Warrior Princess. Kini, lukisan itu, terpasang manis di salah satu sudut rumah dinas Menteri Susi di Kawasan Widya Candra, Jakarta Selatan.
Jelas Susi Duyung bukan kisah tiba-tiba. Terjadi oleh sebuah sebab, yang kita tahu karena tindak-tanduk Susi Pudjiastuti semenjak menjadi menteri. Mungkin, karena kepolulerannya.
Pada masa lalu, bolehlah berimaji Susi sebagai Nyai Ontosoroh, sosok rekaan Pramudya Ananta Toer dalam Tetralogi Novel Pulau Buru. Dalam Bumi Manusia—novel pertama—Nyai Ontosoroh diperkenalkan sebagai pemilik Perusahaan Pertanian Buitenzorg di masa penjajahan Belanda.
Dia bernama asli Sanikem yang di umur 14 tahun dijual oleh ayah kandungnya, seorang juru tulis di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo, demi mendapatkan jabatan yang diinginkan kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema. Sanikem dijadikan gundik sehingga terpaksa menerima julukan ‘Nyai’.
Jadi korban perdagangan manusia, tak membuat Nyai Ontosoroh menyerah. Dia justru bangkit dan bertekad menentukan nasibnya sendiri. Memanfaatkan kekayaan dan akses pengetahuan yang dimiliki oleh tuannya, Sanikem alias Nyai Ontosoroh belajar berhitung serta baca tulis.
Perempuan ini tak hanya menguasai bahasa Belanda tetapi juga piawai mengerjakan urusan perkantoran macam pembukuan, dagang, administrasi dan surat menyurat. Nyai Ontosoroh adalah sosok sukses dengan idealisme yang seharusnya dimiliki manusia.
Pada akhirnya, kita bisa berhikmah dari kisah-kisah baik fiksi maupun nyata. Kendati kita tahu, yang nyata belum tentu seindah kisah-kisah dalam novel. Apakah itu Susi, Nyai Ontosoroh, hingga Susi Duyung, adalah sebuah kisah inspiratif.