Bisnis.com, JAKARTA - Industri pengolahan patin dalam negeri harus dikembangkan untuk menghela permintaan dan memacu produksi nasional. Dengan demikian Indonesia dapat berkompetisi dengan Vietnam.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Catfish Indonesia (APCI) Azam B. Zaidy mengatakan konsumsi masyarakat tidak dapat diandalkan untuk memacu produksi. Selain dampaknya lamban, Azam telah membuktikan produksi yang sekadar mengandalkan permintaan konsumen sangat rapuh. Begitu diterjang patin impor, termasuk yang ilegal, budi daya patin dalam negeri terpuruk.
"Kalau mau menggenjot produksi, memang harus ada industri hilirnya. Kalau hanya dimakan oleh masyarakat umum, agak sulit meloncat," katanya, Kamis (1/3/2018).
Penghiliran yang dimaksud berupa industri fillet dan hasil sampingan (waste product) berupa pengolahan kulit dan kepala patin untuk tepung ikan atau minyak ikan. Azam mengatakan Vietnam telah menjalankan industri hilir Pangasius meskipun belum terlalu maju.
Produktivitas budi daya patin Indonesia 20-40 kg per m2, sedikit di bawah Vietnam yang 30-50 kg per m2. Namun, pengolahan patin di Indonesia masih jauh tertinggal dari Vietnam.
Produksi Pangasius Vietnam yang pada 1997 masih 200.000 ton naik dua kali lipat pada 2005 menjadi 450.000 ton yang 90% di antaranya diekspor ke berbagai negara dengan nama dori. Peningkatan produksi itu dipicu penghiliran yang progresif.
Hingga 2013, terdapat 13 perusahaan yang mengintegrasikan budi daya, pabrik fillet, dan pabrik pengolahan hasil sampingan di Vietnam Rose. Volume waste product-nya mencapai 1.000 -10.000 ton per pabrik per bulan dengan harga Rp3.600 per kg. Tepung ikan dan minyak ikan yang dihasilkan kemudian dijual ke pabrik pakan ternak domestik dan diekspor ke China.
Sementara di Indonesia, produksi fillet baru terpacu pada 2011, saat pengaturan impor patin mulai ditetapkan. Permintaan fillet yang pada 2010 masih 500 ton per bulan, kini mencapai 700-800 ton per bulan, terutama dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Bali. Adapun produksi dari 8-10 perusahaan fillet patin nasional skala menengah sekitar 400-500 ton per bulan.
Azam mengatakan biaya produksi untuk menghasilkan fillet masih tinggi karena belum ditunjang oleh pengolahan hasil sampingan yang memadai. Volume hasil sampingan hanya sekitar 15-16 ton per hari atau 450-480 ton per bulan dan belum banyak diolah secara komersial. Harga waste product pun hanya Rp2.000 per kg dan dipandang tidak terlalu membantu menurunkan biaya produksi patin.
"Pabrik yang ada sekarang ini, dengan kapasitas yang relatif tidak terlalu besar, tetap harus mengolah fish processing product dengan teknologi skala menengah kecil. Kalau tidak, sebentar-sebentar rapuh pasarnya," katanya.
Dalam catatan APCI, baru ada dua perusahaan patin terintegrasi di Indonesia. Perusahaan pertama bergerak di pembenihan patin hingga pengolahan fillet. Adapun perusahaan kedua menjalankan pembesaran patin hingga pengolahan fillet.