Bisnis.com, JAKARTA - Porsi terbesar sentimen terhadap perekonomian kawasan Asia diperkirakan akan datang dari AS, bukan lagi China.
Kepala Riset HSBC untuk kawasan China Zhang Zhiming mengatakan hal tersebut terjadi lantaran Negeri Panda dinilai relatif berhasil menekan pertumbuhan utang domestik. Di sisi lain, pada tahun lalu, laju pertumbuhan ekonomi China berhasil mencatatkan rebound untuk pertama kalinya sejak 2011 setelah menembus 6,8%.
Untuk itu, pada tahun ini, dia melihat sentimen terhadap pasar Asia akan muncul dari AS. Sentimen itu diperkirakan akan datang dari kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed) yang lebih cepat, yang dibarengi oleh lonjakan dolar AS.
“Negara-negara Asia pada dasarnya terikat pada ekonomi China. Namun, jika kita lihat dari sudut pandang mata uang dan pembiayaan global, mereka lebih terikat dengan dolar AS. Hal itu yang membuat porsi tekanan berpotensi bergeser,” ujar Zhang, seperti dilansir Bloomberg, Jumat (2/2/2018).
Di sisi lain, dia membenarkan bahwa pasar obligasi di Asia kini lebih banyak dikuasai investor domestik. Meski demikian, dinamika yang terjadi di AS dan pergerakan greenback masih akan menjadi kunci untuk pasar surat utang Asia.
“Banyak dari antara penerbit obligasi mengeluarkan surat utang berdenominasi dolar AS dan bukan yuan. Dampaknya nanti ketika jatuh tempo dan dolar AS naik pesat, beban perusahaan akan lebih besar,” lanjut Zhang.
Adapun, nilai pasar surat utang Asia diperkirakan akan mencapai US$1 triliun pada 2019.
Sementara itu, apabila melihat data terbaru, yield obligasi AS tercatat terus menunjukkan kenaikan pada tahun ini. Kondisi tersebut berpeluang membuat daya tarik obligasi dari negara-negara berkembang di Asia mulai berkurang.
Kendati demikian, pasar negara berkembang saat ini dinilai relatif masih terlindungi lantaran dolar AS masih mengalami pelemahan. Di sisi lain, lemahnya dolar AS juga membuat tekanan bagi para penerbit obligasi berdenominasi greenback menjadi relatif rendah.
"Jika suku bunga dan dolar AS tiba-tiba naik, maka keadaan bisa berubah dalam waktu yang cepat dan bisa memberikan tekanan besar bagi Asia," tuturnya.
Indikasi perubahan kondisi ekonomi dan pasar AS tersebut muncul setelah Bank Sentral AS mengisyaratkan untuk mengerek suku bunga acuan lebih cepat pada 2018. Otoritas Moneter AS menerangkan hal itu akan didasarkan pada naiknya proyeksi laju inflasi tahun ini.
Dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) 31 Januari 2018 waktu setempat, Dewan Gubernur The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di level 1,25%-1,5%.
"Komite memperkirakan kondisi ekonomi akan terus berekspansi sehingga menjamin kenaikan suku bunga bertahap secara lebih lanjut," tulis Dewan Gubernur The Fed pasca FOMC.
Di sisi lain, para pejabat The Fed meyakini laju inflasi akan tumbuh lebih cepat mencapai target yang ditentukan yakni 2%, pada tahun ini. Hal itu akan semakin memperkuat langkah The Fed untuk mempercepat kenaikan suku bunga bertahap, yang diperkirakan dimulai pada Maret 2018.
Pada saat yang sama, The Fed mengulangi penilaiannya terhadap risiko pada perekonomian AS yang telah disampaikan dalam pertemuan FOMC pada Desember 2017. The Fed mengatakan risiko jangka pendek terhadap prospek ekonomi tampak seimbang.