Bisnis.com, TANGERANG-- Direktur PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) Iman Bimantara mengatakan sejak adanya pengetatan ambang batas kandungan antrakuinon, ekspor perseroan ke Uni Eropa (UE) turun hingga 30%-35%. Jerman disebut sebagai negara pertama yang memperketat kadar antrakuinon yang merupakan sejenis senyawa berwarna, lalu diikuti oleh negara lain seperti Inggris.
Sekarang, ekspor dialihkan ke negara-negara Timur Tengah (Timteng), Eropa Timur, dan Asia. Asia menjadi kontributor terbesar dengan porsi mencapai 45%, di antaranya ke Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Thailand.
Adapun ekspor ke Timteng kurang lebih 15% dari total ekspor perseroan dan sisanya ke Eropa Timur. Secara keseluruhan, ekspor teh KPBN menyentuh 65.000 ton dalam setahun.
“Kalau mereka sudah kompak ya kami harus ubah destinasi dulu lah, daripada risiko. Pernah kami juga sampai sini sudah mau dikapalkan malah enggak jadi,” ungkap Iman ketika ditemui di Trade Expo Indonesia (TEI) 2017, Minggu (15/10).
KPBN adalah anak usaha PTPN I-XIV dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), yang bertugas memasarkan komoditas perkebunan yang dihasilkan. Teh yang dipasarkan berasal dari Jawa dan Sumatra.
Adapun persyaratan batas yang diperbolehkan oleh negara-negara tersebut adalah 0,01%-0,02%. Sementara itu, teh yang diekspor KPBN masih memunyai kandungan antrakuinon di kisaran 0,03%-0,04%.
Iman melanjutkan sebelumnya kandungan dalam teh yang dipasarkan KPBN cukup tinggi, di kisaran 0,1%. Dengan berbagai perbaikan di sisi produksi dan pengolahan, antrakuinon yang ada di dalamnya sudah berhasil diturunkan. Meskipun, masih belum bisa mencapai batas yang disyaratkan.
Dia mengungkapkan persyaratan terkait senyawa tersebut dimulai sekitar 2 tahun lalu. Dengan adanya kebijakan ini, ekspor teh KPBN ke Eropa terpangkas cukup besar dari kisaran 12.000-15.000 ton menjadi hanya 7.000-7.500 ton tiap tahunnya.
Padahal, porsi ekspor ke benua itu cukup besar yakni mencapai 22% dari total ekspor perseroan. Produk yang dijual ke kawasan itu pun tergolong premium sehingga harganya lebih tinggi.
KPBN mengaku tidak bisa menghitung potensi kerugian yang terjadi. Namun, jika sebelumnya perseroan bisa mengantungi penjualan sekitar Rp1,2 triliun dari teh saja, maka sekarang hanya Rp900 miliar.
“Perbaikan yang kami lakukan makan waktu lama. Saya takut nanti kalau sudah lolos, ada [hambatan] yang baru lagi,” ujar Iman.