Bisnis.com, JAKARTA - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) mendorong Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok untuk menjatuhkan sanksi bagi pihak-pihak yang tidak sungguh-sungguh melaksanakan Permenhub No: 25 tahun 2017 yang merupakan perubahan dari Permenhub 117 dan 116 Tahun 2014.
Beleid tersebut mewajibkan bagi pengelola terminal petikemas ekspor impor di Pelabuhan untuk merelokasi barang impor yang sudah mengantongi surat perintah pengeluaran barang/clearance kepabeanan namun sudah lebih dari tiga hari menumpuk di dalam lini satu pelabuhan ke lini dua atau buffer area.
"Kelihatannya pihak pengelola terminal peti kemas di pelabuhan Priok sengaja mengulur-ulur waktu dengan berbagai macam alasan termasuk soal sistem yang belum tersedia, padahal pembahasan soal barang yang long stay alias sudah SPPB sudah lama dan berulang-ulang dibahas," ujar Subandi, Ketua BPD GINSI DKI Jakarta, kepada Bisnis.com, Rabu (27/9/2017).
Subandi mengatakan, sikap pengelola terminal peti kemas ekspor impor di Priok tersebut, selain melanggar peraturan menteri juga bertindak diskriminatif.
Saat ini, terdapat lima fasilitas terminal yang layanan ekspor impor di pelabuhan Priok yakni; Jakarta International Container Terminal (JICT), TPK Koja, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL), Terminal 3 Priok, dan New Priok Container Terminal-One (NPCT-1).
Subandi justru merasa heran, kenapa barang yang masih sedang diurus dokumennya dipaksa keluar dari terminal sedangkan yang sudah SPPB dan mendapat prioritas dari pemerintah soal proses clearance-nya di biarkan mengendap sesukanya.
"Jika demikian jadikan semua jalur prioritas ( tidak ada istilah jalur merah, kuning atau hijau ).Disini Ginsi merasa ada ketidakadilan soal penerapan Permenhub itu," paparnya.
Padahal, imbuhnya, alasan pemerintah mengeluarkan peraturan agar terminal pelabuhan jangan di jadikan tempat untuk menimbun barang sehingga mengganggu kelancaran arus barang, lagi pula core bisnis terminal adalah bongkar muat bukannya bisnis penimbunan barang.
"Saya mencurigai karena terminal mendapatkan keuntungan yang besar dari penumpukan barang bahkan mengalahkan pendapatan dari bongkar muat," tuturnya.
Menurut Subandi, jika kondisi demikian terus dibiarkan maka tidak sejalan antara tujuan diberikannya sangsi tarif penumpukan di terminal yang mahal dengan percepatan arus barang.
Makanya, kata dia, tidak usah heran kalo katanya saat ini dwelling udah turun dari 8 hari menjadi 4 hari tapi biaya logistik justru makin tinggi, karena tarif penumpukan di terminal peti kemas sangat mahal dan berlaku progresif.
Tarif progresif storage barang impor yang mahal inilah yang juga jadi andalan pendapatan pengelola terminal peti kemas di Priok.
"Apalagi terhadap peti kemas impor yang sudah SPPB bisa terkena sampai 1.800 persen dari tarif dasar. Padahal bisnis terminal seharusnya adalah bongkar muat bukan storage," ujar dia.(K1)