JAKARTA —Pengetatan pengawasan produk impor tidak hanya bertujuan melindungi industri dalam negeri tetapi juga memberikan keamanan kepada konsumen sebagai pemakai produk tersebut.
Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional Adhi S Lukman menilai dari segi pilihan, produk impor memberikan ruang kepada konsumen untuk memilih. Namun, dari segi perlindungan, pertanggungjawaban kesesuaian standar menjadi ancaman tersendiri.
Dia mencontohkan proses importasi produk makanan dan minuman. Sebelum memasukkan barang ke dalam negeri, importir memang perlu mengajukan izin.
Setelah mendapatkan izin, sambungnya, importir baru bisa mengedarkan produknya. Akan tetapi, saat produk yang diedarkan bermasalah, beban yang dimiliki oleh pengimpor lebih ringan.
Menurutnya, para importir dapat dengan mudah menutup kantornya ketika terjadi masalah terhadap barang yang diedarkan. Pasalnya, model bisnis tersebut dapat dijalankan dengan hanya menyewa kantor.
“Bila demikian, kemudian terjadi kasus misal keracunan bagi pemerintah lebih sulit menuntut importir,” jelasnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (14/9).
Sementara, berbeda dengan pabrikan yang tidak mudah menghindar apabila produk yang dijualnya bermasalah. Beban yang menjadi tanggungan antara lain karena harus menutup pabrik serta memberikan pesangon bagi karyawan.
Adhi menjelaskan biasanya produsen makanan dan minuman diawasi secara berkala oleh BPOM serta Dinas Kesehatan. Dengan demikian, tingkat kepatuhan terhadap standar yang berlaku biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan produk impor.
“Sedangkan [pengawasan] ke importir lebih jarang atau bahkan tidak dilakukan pengawasan rutin,” imbuhnya.
Dia menambahkan saat ini BPKN menaruh perhatian khusus untuk pengawasan produk impor. Para anggota komisioner saat ini masih membahas langkah apa yang akan ditempuh untuk meningkatkan pengawasan dan perlindungan konsumen. “Ini masuk perhatian BPKN dan akan dibahas segera.”
Deputi Bidang Penerapan Standar dan Akreditasi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Kukuh S. Achmad menjelaskan pengawasan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) dilakukan bagi produk yang telah diwajibkan mengantongi ketentuan tersebut. Untuk SNI produk yang sifatnya sukarela, dilakukan pengawasan sesuai dengan ketentuan dari bea cukai saat produk tersebut masuk ke Indonesia.
“Kalau yang SNI-nya wajib seperti ban, keramik, baja selama ini pengawasannya dikoordinasi oleh Kementerian Perdagangan [Kemendag],” jelasnya.
Dia menjelaskan sesuai ketentuan yang berlaku peran BSN dalam pengawasan produk impor yakni melakukan uji petik dalam rangka me-monitoring dan evaluasi efektivitas penerapan SNI di Indonesia.
“Uji petik ini bukan dalam konteks pengawasan tetap apabila ditemukan barang di pasar yang tidak memenuhi SNI wajib BSN akan melaporkan ke Kemendag,” ujarnya.
Kukuh mengungkapkan selama ini tingkat kepatuhan penerapan SNI justru lebih tinggi untuk kategori produk yang tidak diwajibkan atau bersifat sukarela. Hal itu menjadi indikasi bahwa penerapan SNI wajib saat ini belum berdasarkan kepada kesadaran industri karena masih bersifat terpaksa.