JAKARTA--Pemerintah perlu mendesain kebijakan yang berpihak kepada industri untuk meredam impor. Sebab sering kali regulasi perdagangan justru menahan laju pertumbuhan industri.
“Harusnya pemerintah menyesuaikan kebijakan perdagangan dengan psikologi manufacturer, baru buat kebijakan. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi sekarang, kebijakan perdagangan didesain lebih menguntungkan trader,” ujar Ketua Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri Faizal Safa.
Menurutnya, regulator sektor perindustrian dan perdagangan perlu merujuk kepada kebijakan yang selaras. Pemerintah dapat memulainya dengan menginventaris sektor industri mana saja yang sudah mampu memasok seluruh permintaan domestik. “Apa yang sudah sangat cukup diproduksi di sini, jangan dibuka ruang bagi produk impor,” ujarnya.
Di samping itu, pemerintah juga perlu menjaga struktur biaya produksi rendah bagi sektor manufaktur. Sebab komponen biaya produksi tertinggi pabrikan merupakan komponen biaya yang diatur pemerintah (administered price), seperti misalnya tarif gas, listrik, dan upah minimum buruh.
Menurutnya, biaya processing terbesar bagi industri merupakan harga energi selama pemerintah masih memprioritaskan penggunaan energi berbasis fosil. “Energy cost punya pengaruhnya yang sangat signifikan terhadap seluruh biaya, tapi ke depan cepat atau lambat industri bakal beralih ke solar panel,” ujarnya.
Komponen biaya terbesar lainnya membebani industri beban biaya logistik. “Biaya logistik itu rata-rata membebani sebesar 24% dari keseluruhan biaya produksi industri nasional.”
Daya Saing
Ekonom Universitas Padjadjaran Ina Primiana menyatakan pemerintah perlu menjalankan dua kebijakan strategis untuk mengurangi ketergantungan impor. Kedua langkah itu penguatan daya saing dan perlindungan bagi industri.
“Kedua kebijakan inti itu mesti dijalankan secara konsisten untuk memperkuat positioning industri di dalam pasar domestik,” ujarnya.
Upaya menggenjot daya saing industri dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengurangi pengenaan pajak berlapis bagi industri. Sebab pengenaan pajak berlapis menjadi salah satu permasalahan yang mengakibatkan beban biaya produksi pabrikan lokal lebih mahal ketimbang hasil produksi pabrikan di luar negeri.
Ina mengumpamakan beban pajak yang mesti ditanggung pabrikan pesawat pelat merah PT Dirgantara Indonesia terhadap produk N219. Pengenaan beban pajak berlapis terhadap produksi pesawat itu menyebabkab penjualan domestik produk itu lebih mahal ketimbang ke pasar ekspor.
“Beban pajak yang ditanggung pembeli domestik lebih tinggi. Akhirnya maskapai lebih memilih pembelian produk impor,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah perlu mendesain regulasi yang mempermudah proses produksi dan memperketat impor. Dengan demikian, lebih banyak barang hasil produksi lokal ketimbang barang impor.
Di sisi lain, perlindungan bagi industri juga diperlukan untuk menjaga ketahanan industri agar tak tergilas produk impor. “Tidak ada yang salah dengan impor, tapi tidak salah juga melindungi industri seperti yang dilakukan banyak negara lain,” ujarnya.
Menurutnya, penerapan SNI merupakan skema hambatan perdagangan non tarif yang paling ideal. Hanya saja, pemerintah membiarkan produk impor terlalu mudah memperoleh SNI.
“Satu hal lagi yang patut menjadi perhatian adalah kurang ketatnya pengawasan terhadap importir nakal yang surat-suratnya tidak lengkap, petugas sangat mudah mengeluarkan waiver letter. Padahal, petugas mestinya mengembalikan barang bila dokumen tidak lengkap untuk memberi efek jera terahadap importir nakal,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia Elisa Sinaga menunggu realisasi janji pemerintah terkait revisi harga gas untuk industri. Sebab keberlangsungan produksi pabrikan bergantung kepada efisiensi biaya gas. Tingginya harga gas yang mencapai US$9 per MMbtu bagi industri keramik membuat produsen banyak beralih menjadi importir.
Menurutnya, lemahnya daya saing pabrikan keramik lokal dibanding produk impor terletak pada mahalnya harga gas. Sebab penggunaan gas berperan sebesar 35% terhadap keseluruhan biaya produksi.
Akibatnya beban biaya produksi tinggi yang dipicu tingginya tarif gas membuat pabrikan tak mampu menandingi harga produk kompetitor di Asean. “Harga gas yang harus segera diselesaikan terlebih dulu,” ujarnya.