Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa waktu lalu, saya membaca satu suratkabar di Ibukota. Di China, tulis suratkabar itu, inflasi akibat kenaikan harga pangan juga bisa menimbulkan kerusuhan sosial. ”Ada banyak warga yang memendam marah karena kenaikan harga pangan,” kata Jean-Pierre Cabestan dari Baptist University, Hong Kong. Rasa marah ini berpotensi menjadi bibit kerusuhan di masa datang.
'Ketakutan' akan munculnya situasi itu, membuat banyak negara melakukan pengamanan terhadap bahan pangan pokok. Indonesia, misalnya, meluncurkan Perpres No. 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Kebijakan itu diikuti oleh Peraturan Menteri. Keluarlah aturan harga eceran tertinggi atau harga pembelian pemerintah atau harga acuan, terserah. Level harga beli dan jual pun ditetapkan. Berawal dari Permendag 63/2016 lalu direvisi jadi Permendag No. 27/2017 dan kini diganti oleh Permendag No. 47/2017. Semua mengatur harga acuan bawah untuk melindungi petani dan harga acuan atas untuk melindungi konsumen.
Agar barang (beras) tetap tersedia pihak Kementerian Pertanian memberikan Subsidi input terkait beras berupa subsidi benih sekitar Rp1,3 triliun dan subsidi pupuk Rp31,2 triliun kepada petani.
Tak ayal, para menteri pun --setelah diperintahkan mengamankan harga pangan oleh Presiden Jokowi-- menjaga agar kebijakannya, dalam implementasi di lapangan, berjalan bagus. Pengawasan dilakukan. Satgas Pangan dibentuk pada Ramadhan dan Lebaran 2017 di bawah komando Irjen. Pol. Drs. Setyo Wasisto, S.H.
- Penyidik Bareskrim Polri Lanjutkan Kasus Indo Beras Unggul
- KOMODITAS BERAS : Pemerintah Sederhanakan Klasifikasi
- POLEMIK PERBERASAN : Pembahasan Harga Beras Terus Berlanjut
Sayang, segalanya justru membuka masalah baru. Kabinet Jokowi mendapat sorotan dan kecaman akibat tindakan para pembantunya. Aksi yang alih-alih ingin membuat harga pangan stabil, justru membuat iklim dunia usaha yang oleh Jokowi dibuat kondusif, bergetar lagi. Pelaku di perberasan mengerem diri. Harga pun berpotensi jatuh.
Baca Juga
Pembelian di atas HET, sejatinya, menguntungkan petani. Itu yang Jokowi mau. Dan gabah yang dibeli lalu dijual dalam kemasan, harganya belum diatur dalam Permedag 47/2017. Di sana hanya mengatur harga beras (tanpa pengemasan) Rp9.500 per kilogram.
Lalu, membuat persaingan usaha menjadi tidak fair? Sejauh ini peraturan yang ada belum mengatur itu, baik Permendag maupun Inpres perberasan (5/2015).
Tak lama kemudian, Mendag membatalkan pemberlakuan Permendag No 47/2017. Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, setelah menerima laporan dari Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita soal aturan harga eceran tertinggi (HET) batal berlaku.
“Tidak usah ada keresahan dan tidak usah khawatir. Aturan HET belum diundangkan, maka tidak diberlakukan. Saat ini, Permendag sudah di tarik dari proses,” ujar Enggartiasto Lukita.
- PERSPEKTIF : Momentum Perbaikan Rantai Nilai Beras
- Pebisnis Beras Ingin Win-Win Solution
- Soal Beras, Pemerintah Jamin Nasib Petani Diperhatikan
Sayangnya, sebelum Permendag 47/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen itu diundangkan Satgas Pangan telah menggerebek gudang beras perusahaan swasta yang diduga melakukan pengoplosan sehingga dikategorikan curang dan merugikan konsumen.
Padahal, di mata banyak ekonom, Permendag Nomor 47 Tahun 2017 yang mengatur harga eceran tertinggi (HET) penjualan beras Rp9.000 di tingkat konsumen bisa menimbulkan masalah baru bagi para produsen beras yang merasa tidak dilindungi oleh pemerintah dalam usaha mereka.
Dan, aturan yang ditandatangani langsung oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan berlaku sejak 18 Juli 2017, sejatinya, telah ditolak mentah-mentah oleh para pedagang beras. Alasannya, harga acuan penjualan di konsumen turun dari Rp 9.500/kg menjadi Rp 9.000/kg.
Kebijakan yang tarik ulur dan menimbulkan pro kotra yang tajam, merugikan Kabinet Kerja khususnya bagi Presiden. Bukan tidak mungkin, ketidakakuratan itu, bisa menjadi bulan-bulanan lawan politik. Bahkan menimbulkan beragam dugaan yang kurang elok.
Saya sepakat dengan ucapan Ketua Umum Apindo, Hariyadi B. Sukamdani: Kegaduhan soal produk strategis ini menyebabkan ketakutan bagi pelaku usaha.