Bisnis.com, JAKARTA -- Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyoroti Kebijakan Pemerataan Ekonomi (KPE) yang belum menyentuh nelayan dan pembudidaya rumput laut sejak program afirmatif itu diluncurkan oleh Presiden Jokowi April 2017.
DFW Indonesia melihat status kepemilikan aset yang dimiliki nelayan dan pembudidaya rumput laut sangat terbatas sehingga rentan terhadap guncangan ekonomi. Mereka juga memiliki keterbatasan kemampuan untuk mengakses teknologi, pembiayaan, serta pasar dan prasarana.
“Pemerintah tidak siap dan tidak punya skenario untuk meningkatkan kemampuan ekonomi nelayan dan pembudidaya rumput laut, bahkan dalam skema KPE yang sebenarnya sangat strategis untuk mereka terima,” kata Koordinator Nasional DFW-Indonesia M. Abdi Suhufan, Jumat (14/7/2017).
Seperti diketahui, Kebijakan Pemerataan Ekonomi adalah kebijakan ekonomi afirmatif yang bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat ekonomi lemah dan menengah agar memiliki kesetaraan kepemilikan lahan, kesempatan, dan kemampuan sumber daya manusia, yang mempunyai daya saing.
KPE memiliki tiga pilar utama, meliputi lahan, kesempatan, dan kapasitas sumber daya manusia.
Dari ketiga pilar utama itu, terdapat 10 bidang yang dinilai menjadi sumber ketimpangan di masyarakat, meliputi reforma agraria dan perhutanan sosial; pertanian dalam kaitannya dengan isu petani tanpa lahan; perkebunan terkait dengan rendahnya produktivitas dan nilai tambah komoditas; perumahan yang terjangkau bagi masyarakat miskin perkotaan, nelayan serta petani budidaya rumput laut; sistem pajak, manufaktur dan informasi teknologi; perkembangan pasar ritel dan pasar tradisional; pembiayaan dengan dana pemerintah; serta vokasional, kewirausahaan dan pasar tenaga kerja.
Menurut data DFW-Indonesia, program sertifikasi hak atas tanah nelayan yang dilaksanakan oleh KKP dalam periode 2010-2013 hanya mampu menyelesaikan 58.495 sertifikat. Artinya, dalam setahun kemampuan pemerintah membantu nelayan mendapatkan sertifikat hanya 11.699 sertifikat. Selain itu pada 2013, hanya 1.215 orang dari 16.703 orang pemegang sertifikat yang memanfaatkan sertifikat untuk mengakses modal senilai Rp10,7 miliar. Namun, nilai yang digunakan untuk modal kerja hanya Rp3,7 miliar.
Sementara itu, peneliti DFW Indonesia Widya Safitri mengatakan isu krusial yang perlu mendapat perhatian pemerintah adalah target produksi rumput laut yang terus meningkat selain soal kepemilikan aset tanah. Pemerintah telah membuat baseline target produksi rumput laut akan terus digenjot dari 11 juta ton tahun lalu menjadi 13,4 juta ton tahun ini dan 16,1 juta ton tahun depan.
Dalam kerangka KPE untuk pembudidaya rumput laut, dia menyarankan pemerintah untuk mengatur enam hal, yakni rencana zonasi budidaya rumput laut yang detail, aturan izin lokasi dan izin pengelolaan untuk memberikan perlindungan pada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional, penyediaan bibit unggul, kesiapan kelompok pembudidaya dan pendampingan,serta pasar dan penghiliran rumput laut.
"Pemerintah perlu menetapkan sentra produksi yang lokasinya menyatu dengan sentra industri rumput laut, yakni Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara," tuturnya.
DFW-Indonesia mendesak pemerintah untuk melengkapi perumusan rencana aksi KPE untuk nelayan dan budidaya rumput laut yang sifatnya implementatif, terukur dan dapat dilaksanakan dengan mudah.