JAKARTA— Target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi di angka 5,2% masih sulit dilakukan. Institute for Development of Economics and Finance alias Indef menyatakan hal ini dilihat dari beberapa sektor yang mulai melesu seperti industri pengolahan.
“Dari lapangan usaha gampang saja melihatnya, apa sektor yang berkembang? menyerap tenaga kerja besar atau tidak? nah faktanya, sektor yang paling jadi unggulan seperti industri pengolahan justru pertumbuhannya dibawah perekonomian nasional,” ujar peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara.
“Kalau kita lihat ekspor dan impor, ekspor kita lihat juga sebenarnya ada pertumbuhan tapi tidak cukup significant makanya kita sebut surplus yang semu dalam arti sebenarnya tidak ada perbaikan yang significant, impornya yang lebih dalam jatuhnya sehingga terkesan kita mengalami surplus,” ujar Bhima.
“Nah impor yang dalam jatuhnya, kalau kita lihat ternyata impor barang konsumsi mengalami kenaikan, sementara impor bahan baku industri dan bahan baku penolong ini sama-sama mengalami penurunan,”imbuhnya. Tentunya, hal itu akan berpengaruh terhadap sektor lapangan kerja.
Bhima mengatakan, pemerintah perlu upaya yang ekstra keras untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi di angka 5,2%.
"Jadi harus didorong investasinya, inflasinya harus benar-benar dipikirkan, segala kenaikan seperti tarif listrik BBM itu harus dipikirkan kembali karena dampaknya di bulan Juni ini adalah puncaknya inflasi karena ini adalah inflasi musiman lebaran, tahun ajaran baru juga akan dimulai nantinya, plus inflasi kalau lebaran biasanya inflasi pangan dan transportasi kemudian tarif listrik 900VA, dan BBM bersubsidi ini mungkin awal semester kedua akan kembali disesuaikan karena harga minyak dunia sudah diatas dari asumsi APBN 2017,” tuturnya.