Bisnis.com, JAKARTA - Kerjasama pemerintah Indonesia dengan Norwegia merupakan langkah strategis dalam mengembangkan sektor kelautan dan perikanan menjadi salah satu andalan ekonomi Indonesia. Sehingga ke depan akan dapat menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang kuat dan mampu mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
“Namun kerjasama ini jangan cuma melibatkan investor asing dan pengusaha lokal, tapi juga harus mempriotaskan kesejahteraan nelayan tradisional,” ujar Hanafi Rustandi, Ketua Federasi Pekerja Transport Internasional (International Transport Workers Federation) Asia Pasifik di Jakarta, Senin (12/12/2016).
Dalam MoU (nota kesepahaman) yang ditandatangani Menteri Kelautan & Perikanan RI dan Menteri Perikanan Norwegia belum lama ini, keduanya sepakat untuk mengembangkan kerjasama aquaculture, sustainable fisheries, serta memberantas kejahatan perikanan yang dikenal sebagai Illegal Unreported and Unregulated Fishing (IUUF), yang di dalamnya termasuk perdagangan manusia.
Kedua negara juga sepakat untuk meningkatkan perdagangan ikan. Bahkan Norwegia menyatakan Indonesia perlu memanfaatkan fasilitas impor berupa tarif nol persen bagi produk perikanan Indonesia yang masuk ke Norwegia.
Terkait pemberantasan kejahatan perikanan, khususnya penjarahan ikan oleh kapal-kapal asing di perairan Indonesia, Hanafi mengapresiasi sikap tegas Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi yang telah menenggelamkan ratusan kapal illegal fishing. Tindakan tegas ini perlu dilanjutkan, apalagi telah mendapat dukungan dari Norwegia maupun Australia, sehingga perairan Indonesia steril dari kapal asing pencuri ikan.
Dengan makin berkurangnya kapal-kapal illegal fishing, ikan hasil tangkapan nelayan makin melimpah yang otomatis dapat meningkatkan kesejahteraannya. Produktivitas nelayan tradisional itu perlu ditingkatkan melalui Koperasi Nelayan dengan pendampingan dari Dinas Perikanan setempat. Sehingga nelayan juga dapat meningkatkan kontribusinya di pasar lokal maupun untuk ekspor.
“Pemerintah harus mampu mewujudkan ekonomi kerakyatan, bukan ekonomi liberal yang banyak memberi peluang kepada pengusaha atau investor asing,” tegasnya.
Selain itu, kerja sama dengan Norwegia juga penting bagi terciptanya clean ocean (laut bersih) dan ekosistem di lautan. Laut yang bersih sangat bermanfaat bagi nelayan menangkap ikan untuk kebutuhan sehari-hari.
Dalam hal ini, imbunya, pemerintah harus bijaksana tapi tegas untuk memisahkan wilayah operasional nelayan tradisional dengan perusahaan perikanan yang mengoperasikan kapal-kapal di atas 30 GT. Kapal-kapal besar harus beroperasi di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), sementara nelayan tradisional hanya sampai 12 mil dari pantai, sehingga tidak terjadi benturan.
Wakil Sekjen DPP Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Sonny Pattiselanno mengemukakan, dalam pertemuan Seksi Perikanan ITF di London, 7-8 Desember 2016, ada beberapa hal yang menjadi fokus perhatian ITF dan Serikat Pekerja (SP) Pelaut afiliasinya.
Antara lain, pengembangan & penguatan peran Serikat Pekerja dalam industri perikanan, mengkampanyekan pemberlakuan secara penuh ILO Convention 188 dan pengembangan kerjasama/komunikasi yang lebih intens dengan lembaga-lembaga internasional, terutama Interpol, untuk mencegah & menindak pelaku IUU Fishing, perbudakan maupun human trafficking.
“ITF juga akan melaksanakan program kerjasama dengan International Union of Food (IUF), untuk membangun, mengembangkan dan mengintensifkan jaringan kerja antar SP afiliasinya. Terutama dalam mengorganisir para nelayan/pelaut dan para pekerja di pabrik-pabrik pengalengan ikan di wilayah Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pasifik yang selama ini belum terorganisir dengan baik”, ujar Sonny.