Bisnis.com, JAKARTA—Pemerintah membuka wacana untuk menurunkan kembali porsi pembiayaan pemerintah dalam skema subsidi perumahan melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan atau FLPP dari porsi saat ini yang mencapai 90% dari total likuiditas.
Direktur Perencanaan Pembiayaan Perumahan, Ditjen Pembiayaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Eko D. Heripoerwanto mengatakan, sejak tahun lalu pemerintah memang telah mengatur besaran likuiditas FLPP adalah 90:10.
Artinya, pemerintah menyiapkan dana 90%, sedangkan 10% lainnya disediakan oleh perbankan. Dengan skema tersebut, perbankan dapat menyalurkan pembiayaan atau kredit pemilikan rumah (KPR) bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan bunga 5% dan tenor 20 tahun.
Eko mengatakan, dengan skema tersebut beban pendanaan dari pemerintah memang menjadi sangat tinggi dan jumlah MBR yang dapat dibantu pun relatif lebih terbatas. Oleh karena itu, pemerintah tengah mengkaji untuk menurunkan kembali rasio likuiditas pemerintah.
Apalagi, saat ini beban bunga perbankan pun mulai longgar seiring turunnya suku bunga acuan dari Bank Indonesia.
Meski masih harus diperhitungkan kembali, dirinya menilai bunga subsidi dapat tetap ditekan pada level rendah meskipun porsi likuiditas pemerintah dikurangi, sebab bunga KPR komersial pun perlahan mulai menyentuh level satu digit.
“Ini sudah sering kita bicarakan dengan perbankan sebenarnya, tinggal cari timing yang pas. Nanti itu juga harus ada peraturan meterinya karena kita tidak bisa begitu saja mengubahnya,” katanya kepada Bisnis.com, dikutip Selasa (8/11/2016).
Eko mengatakan, sebelum 2015 perbandingan likuiditas pemerintah dan perbankan adalah 60:40 dengan bunga 7,25%. Namun, tahun lalu disesuaikan menjadi 90% agar bunganya bisa ditekan menjadi 5% saja.
Pemerintah cukup hati-hati untuk meluncurkan kebijakan baru lagi untuk kembali menyesuaikan rasio likuiditas. Pasalnya, hal ini erat terkait dengan risiko perbankan. Untuk itu, pemerintah terus melakukan pendekatan dengan perbankan.
Pemerintah pada tahun lalu telah meluncurkan skema subsidi selisih bunga (SSB) sebagai alternatif. Dengan skema ini, 100% likuiditas berasal dari perbankan. Perbankan menyalurkan KPR bagi MBR dengan bunga komersial, tetapi MBR hanya akan membayar bunga 5% sebab pemerintah membayar selisihnya.
Dirinya mengakui, skema ini relatif kurang menarik bagi perbankan sebab menuntut bank menyalurkan dana lebih besar. Oleh karena itu, skema ini hanya diluncurkan setelah dana FLPP tahunan terserap habis.
Pihaknya juga akan melibatkan lembaga pengawas seperti BPKP, KPK, dan OJK agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari bila pemerintah mengubah kembali rasio likuiditas FLPP.