Bisnis.com, JAKARTA - Sensitivitas yang tinggi terhadap selisih biaya produksi membuat industri hulu tertekan oleh harga gas yang tidak kompetitif.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan sektor industri tekstil dan produk tekstil sangat sensitif terhadap selisih biaya karena berujung pada industri garmen yang berorientasi ekspor.
Produsen tekstil hulu, jelasnya, tidak bisa mengoper biaya produksi yang tinggi karena harga produk mereka. Alasannya mereka harus berebut pasar dengan produsen bahan baku tekstil luar negeri yang bisa menjual produk mereka di Tanah Air tanpa bea masuk.=
“Tidak sepenuhnya harga gas tinggi bisa di pass-through ke konsumen. Di Indonesia itu ada pajak pertambahan nilai [antar sektor industri TPT]. Barang yang masuk dari luar bebas. Itu hambatan utamanya,” kata Menperin.
Sekjen Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (Apsyfi) Redma Wirawasta meminta pemerintah menurunkan harga gas untuk meningkatkan daya saing industri serat nasional.
“Kami minta pemerintah menurunkan harga gas supaya bisa jadi US$4 per MMBTU. Industri pembuatan benang dan kain ikut mendapatkan keuntungan karena bahan baku lebih murah,” katanya.
Dia mengatakan kenaikan produksi serat, benang, dan kain dari penurunan harga gas akan memberikan tambahan pendapatan pajak pertambahan nilai senilai US$218 juta, tambahan pajak penghasilan US$14,75 juta, dan tambahan devisa ekspor senilai US$2,48 miliar.
Total tambahan pajak dari penurunan harga gas mencapai US$233,2 juta atau sekitar Rp3 triliun. Tambahan tersebut, tegas Redma, lebih sedikit dari kerugian Rp455 miliar yang akan membebani pemerintah dari penurunan harga gas.