Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 827 juta orang tinggal di daerah kumuh perkotaan dan diprediksi bakal meningkat menjadi 1 miliar jiwa pada 2020, menurut data dari Habitat for Humanity.
Mart Polman, Managing Director Lamudi Indonesia, menuturkan krisis perumahan layak huni sekarang berada pada titik mengkhawatirkan. Dampaknya, setiap tahunnya akan lebih dari 1,8 juta anak-anak meninggal karena air kotor dan sanitasi yang buruk.
“Laporan terbaru yang disampaikan Mckinsey mengatakan kesenjangan perumahan layak saat ini mencapai $650 juta per tahun dan angka ini akan terus bertambah karena urbanisasi akan menyebar di kota-kota di seluruh dunia,” ujarnya, Jumat (7/10/2016).
Polman memperkirakan, biaya yang dibutuhkan untuk mengurangi masalah kekurangan hunian mencapai US$9-11 triliun di seluruh dunia. Namun, ada beberapa ide yang dapat dilakukan untuk mengurangi besarnya dana yang dibutuhkan, yakni dengan cara membuka lahan baru, mengurangi biaya kontruksi yang besar, meningkatkan pemeliharaan, dan menurunkan biaya pendanaan bagi pembeli dan pengembang.
Polman menuturkan, banyak negara telah sukses mengeksekusi proyek reklamasi, misalnya, Singapura, Denmark, Belanda, Mesir, Kenya, Jepang dan China. Sejak abad 19, Jepang telah mereklamasi 25,000 hektar di Tokyo Bay.
Namun, tentu saja hal tersebut mendatangkan kritik dari aktivis lingkungan karena reklamasi merusak kehidupan laut dan para nelayan mengklaim hal tersebut juga mempengaruhi penghasilan mereka.
Sedangkan, mengurangi biaya konstruksi bisa ditempuh dengan membangun bangunan hijau. Sebuah pengembang hunian sederhana bisa menghemat hingga US$24 per meter persegi dengan menggunakan structurally insulated panels (SIPs); dengan menggunakan SIP, pengembang juga bisa menghemat biaya material dan biaya pekerja.