Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku usaha meminta pemerintah merevisi UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardhana mengatakan UU Jaminan Produk Halal (JPH) disahkan secara prematur sehingga implementasinya pun tidak tepat sasaran.
Oleh karena itu, penyusunan aturan turunan beleid itu yang berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) dinilai tidak perlu dilakukan. “Definisi halalnya sudah keliru, teknik mensertifikasinya sudah salah, kemudian terdapat pasal-pasal yang saling kontradiktif. Kenapa pemerintah harus capek-capek menyusun PP yang jelas akan meleset juga?” papar dia usai Kongkow Bisnis Radio PAS Perlukah Sertifikasi Halal Diwajibkan?, Rabu (5/10/2016).
Danang mengungkapkan pihaknya akan menyerahkan surat rekomendasi ke Presiden Joko Widodo pekan depan. Kalangan pengusaha menginginkan sertifikat halal tidak bersifat wajib tapi sukarela. Apindo menilai industri dalam negeri bakal mengalami kesulitan karena mayoritas bahan baku di sektor yang diwajibkan halal, yakni makanan dan minuman (mamin), kosmetik, farmasi, dan obat-obatan masih impor. International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) menyebut 95% bahan baku industri farmasi Tanah Air diimpor, sedangkan Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) mencatat 90% bahan baku industri kosmetik nasional masih impor. Hal ini mempengaruhi daya saing karena produsen membutuhkan waktu lebih lama dalam pengolahan serta peluncuran produknya.
JPH dan fasilitas produksi pun mesti diubah atau bahkan ditambah. Ujung-ujungnya, harga naik karena beban biaya bertambah untuk melalui proses sertifikasi yang panjang dan pangsa pasar pun terpengaruh termasuk market share produk ekspor. Pemerintah juga disebut bakal menanggung beban baru dari sisi anggaran karena mesti mendanai kehadiran lembaga baru.