Bisnis.com, JAKARTA—Industri farmasi dan obat-obatan mendesak dikeluarkannya produk-produk tersebut dari daftar produk yang wajib bersertifikat halal terkait implementasi UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) Frida Chalid mengatakan saat ini para produsen obat turut mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di mana pemerintah meminta obat-obatan yang didistribusikan berkualitas tinggi dan murah.
“Jika kami harus punya sertifikat halal, bagaimana mungkin kami bisa memproduksi obat yang berkualitas baik sekaligus murah, dan halal?” ungkap dia usai Kongkow Bisnis Radio PAS Perlukah Sertifikasi Halal Diwajibkan?, Rabu (5/10).
Frida menjelaskan proses registrasi pembuatan obat membutuhkan waktu sekitar 2 tahun. Bila diwajibkan memiliki sertifikat halal, maka waktu produksi akan makin panjang dan akibatnya aksesibilitas masyarakat terhadap obat tersebut terhambat. Sementara, kebutuhan di masyarakat bakal semakin tinggi dengan berjalannya JKN. Belum lagi, lanjut dia, biaya ikut terkerek sehingga harga obat menjadi mahal.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group (IPMG) Parulian Simanjuntak menyebutkan saat ini sekitar 95% bahan baku produk farmasi masih impor. Belum tentu pemasok bahan baku bersedia mensertifikasi produknya.
“Kasarnya nanti kami dituntut untuk punya dua pabrik untuk obat yang sama. Kami setuju bahwa seharusnya sertifikasi ini bersifat sukarela,” tutur dia. UU Jaminan Produk Halal (JPH) disahkan pada akhir 2014 dan mestinya berlaku pada 17 Oktober 2016. Namun, aturan turunan dari beleid tersebut belum juga rampung dan diperkirakan tidak akan terbit tahun ini.