Bisnis.com, YOGYAKARTA – Kementerian Perhubungan belum berencana mengajukan jalur Selat Malaka sebagai bagian dari Particularly Sensitive Sea Area seperti yang ditetapkan oleh International Maritime Organization.
Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Antonius Tonni Budiono menyatakan karakteristik Selat Malaka belum bisa masuk dalam kriteria Particularly Sensitive Sea Area (PSSA).
“Banyak pertimbangan untuk bisa masuk PSSA, konsekuensinya kita harus siap. Selat Malaka itu sebanrnya belum bisa kita pantau benar-benar karena terlalu luas,” ungkap Tonni kepada Bisnis, Selasa (26/9).
Tonni menyebut, tiga negara di Selat Malaka yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura saja belum bisa memantau pergerakkan kapal dan mendeteksi pencemaran kapal.
Salah satu kendala adalah teknologi yang digunakan belum mumpuni untuk mendeteksi arus limbah. Hal ini mengingat pergerakkan limbah juga mengikuti arus ombak yang kerap berubah.
Dia menjelaskan, sejauh ini lokasi selat di Indonesia yang cocok ikut dalam PSSA adalah Selat Lombok, di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat. Alasannya karena lokasi Selat Lombok tidak terlalu luas sehingga pemerintah Indonesia lebih mampu melakukan pengawasan secara kondusif.
“Selain itu kalau tak salah kaitannya juga sama sektor pariwisata, supaya para wisatawan juga enak. Sementara Selat Malaka itu bukan untuk pariwisata,” tegasnya.
Raymond Sianturi, Kepala Navigasi Kelas I Ambon menyatakan Selat Malaka memang perlu mendapatkan perlindungan maritiman seperti kategori PSSA.
Akan tetapi kriteria Selat Malaka hanya cocok masuk dalam level yang setingkat lebih rendah dari PSSA yaitu Associated Protective Measures (APM).
“Peraturan dan kemampuan kita harus rigid kalau mau masuk PSSA, kalau tidak malah kita yang bisa hancur sendiri,” ungkapnya
PSSA adalah suatu mekanisme yang digunakan oleh negara pantai untuk melindungi kawasan lautnya dari dampak negatif aktivitas pelayaran internasional.
Suatu kawasan laut dapat ditetapkan sebagai PSSA apabila kawasan tersebut rentan terhadap aktivitas pelayaran internasional.
Selain itu, kawasan perairan tersebut harus memenuhi tiga kriteria yakni ekologis; sosial, budaya dan ekonomi; dan ilmu pengetahuan.
Khusus di perairan Selat Lombok yang merupakan wilayah ALKI II, dia mengatakan jumlah kapal asing lewat setiap harinya bisa mencapai 52 kapal sehingga dalam sebulan rata-rata arus kapal mencapai 1.400-an kapal.
Melalui PSSA, pemerintah dapat melakukan perlindungan dengan menetapkan a.l. kewajiban lapor bagi kapal tanker yang membawa bahan bakar dalam jumlah besar dan menerapkan traffic separation schemes guna menghindari tabrakan karena arus kapal yang melintas lebih teratur dengan penerapan dua arah seperti di Selat Malaka.
Pemerintah juga dapat menetapkan area larang jangkar, area yang harus dihindari, area wajib pandu, larangan pembuangan air kotor dari tanki kapal dan menerapkan peraturan IMO lainnya yang terkait dengan perlindungan lingkungan laut.
Sayangnya, PSSA yang telah ditetapkan oleh IMO dan Norwegian Agency for Development Cooperation (Norad) dalam pertemuan regional pertama di Manila, Filipina, pada Juli 2014, hingga kini belum diikuti oleh Indonesia.
Oleh sebab itu, Indonesia kini mulai serius mempelajari dan segera menerapkan PSSA ini melalui surat Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan tertanggal 5 Maret 2015 kepada IMO. Melalui kepada Head of Office for London Convention/Protocol and Ocean Affairs Marine Environment Division of IMO Edward Kleverlaan, pemerintah Indonesia bersedia mengalokasikan dana yang tersedia bagi pelaksanaan kegiatan workshop nasional mengenai PSSA di Indonesia.
Alhasil, pemerintah Indonesia pun menetapkan lokasi potensial untuk PSSA di Indonesia a.l. Kepulauan Seribu, Karimun Jawa dan Selat Lombok. Lokasi tersebut dibahas dalam Rapat Regional Ketiga yang dihadiri oleh empat negara yakni Malaysia, Filipina, Vietnam dan Indonesia bersama wakil IMO, IALA, peninjau dari Singapura dan Brunei Darussalam.