JAKARTA - Daya saing yang semakin merosot membuat industri tekstil dan produk tekstil berproduksi 24% di bawah kapasitas.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajad permasalahan harga bahan baku dan akses pasar membuat industri tekstil dan produk tekstil berproduksi di bawah kapasitas.
Dia mengklaim saat ini rata-rata utilisasi industri TPT di Indonesia sebesar 76%. Penurunan produksi terjadi di seluruh sektor industri tekstil dan produk tekstil dari hulu hingga hilir.
“Artinya idle capacity kita 24%, merata dari hulu hingga ke hilir. Ini kapanpun bisa kita manfaatkan jika kita bisa semakin kompetitif,” kata Ade, Senin (29/8/2016).
Ade menjelaskan salah satu permasalahan utama industri TPT adalah harga bahan baku yang mahal akibat biaya energi yang tinggi di Tanah Air.
Harga gas membuat biaya produksi serat rayon dan serat poliester di Indonesia lebih tinggi dibandingkan industri sejenis di luar negeri. Harga serat yang lebih mahal kemudian berdampak kepada tingginya harga benang dan harga kain.
Perbedaaan harga antara kain buatan dalam dan luar negeri membuat industri garmen mengandalkan komponen tekstil impor. Pertumbuhan industri garmen berarti kenaikan impor tekstil dan kecenderungan industri garmen mengincar pasar ekspor dibandingkan pasar domestik.
“Pasar domestik menjadi rebutan antara produsen dalam dan luar negeri. Kita tidak bisa mencegah itu. Pemerintah seharus bisa melihat dan bertindak jika ada barang yang terindikasi dumping,” kata Ade.
Dia menambahkan industri TPT juga mengalami kesulitan akeses pasar. Produk TPT Indonesia saat ini dikenai bea masuk 11%—31% oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Di sisi lain, produk TPT Vietnam bisa masuk bebas bea masuk ke Amerika Serikat. Adapun produk TPT Bangladesh dan Pakistan bebas masuk ke Uni Eropa memanfaatkan status least developed countries (LDC).