Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati: Membuat Momentum Lebih Positif

Menteri Keuangan Sri Mulyai Indrawati langsung membuat gebrakan, hanya dalam sepekan setelah dilantik; memotong ulang anggaran perubahan atau APBN-P 2016 yang sudah disetujui DPR. Lalu, ia mengajukan RAPBN 2017 dengan volume yang lebih kecil dari APBNP 2016. Mantan Menkeu di era Presiden SBY, yang kemudian menjabat sebagai Managing Director dan Chief Operating Officer Bank Dunia sebelum kembali ditunjuk sebagai Menkeu oleh Presiden Joko Widodo pada reshuffle akhir Juli lalu, itu bilang, supaya postur kebijakan fiskal lebih kredibel dan realistis. Seperti apa sebenarnya pemikiran Mbak Ani, panggilan akrab Menkeu, terhadap kebijakan fiskal yang kini dikemudikannya? Berikut penggalan wawancara Bisnis di kantornya belum lama ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati./Antara-Widodo S. Jusuf
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati./Antara-Widodo S. Jusuf

Menteri Keuangan Sri Mulyai Indrawati langsung membuat gebrakan, hanya dalam sepekan setelah dilantik; memotong ulang anggaran perubahan atau APBN-P 2016 yang sudah disetujui DPR. Lalu, ia mengajukan RAPBN 2017 dengan volume yang lebih kecil dari APBNP 2016. Mantan Menkeu di era Presiden SBY, yang kemudian menjabat sebagai Managing Director dan Chief Operating Officer Bank Dunia sebelum kembali ditunjuk sebagai Menkeu oleh Presiden Joko Widodo pada reshuffle akhir Juli lalu, itu bilang, supaya postur kebijakan fiskal lebih kredibel dan realistis. Seperti apa sebenarnya pemikiran Mbak Ani, panggilan akrab Menkeu, terhadap kebijakan fiskal yang kini dikemudikannya? Berikut penggalan wawancara Bisnis di kantornya belum lama ini.

Sebenarnya apa yang membuat Anda yakin dengan ekonomi Indonesia?

Pertama, mungkin jawaban klasik, ini negara besar. Populasinya besar, jadi kita punya keuntungan, kita punya mesin ganda, mesin domestik dan mesin uang. Jadi populasi besar, geografiknya gede, natural resource besar. Itu semuanya membuat kita punya modal.

Kedua, dari sisi kebijakan ekonomi atau politik, Indonesia sudah punya banyak sekali rambu-rambu hukum yang membuat framework atau kerangka untuk pengelolaan ekonomi yang baik. Apakah UU Keuangan Negara, UU BUMN, dan lainnya. Paling tidak dari sisi kualitas demokrasi, yang mencerminkan keseimbangan antara tujuan politik legal, maupun tujuan ekonomi sosial, itu sudah ada. Saya sudah lihat di banyak negara, bahkan banyak yang tidak punya UU, atau meluluskan UU susahnya minta ampun, sehingga menjadi constrain untuk mengelola ekonominya.

Ketiga, sejak krisis ekonomi 1997/1998 krisis 2008/2009 dari sisi pengelolaan ekonomi kita punya apa yang disebut pelajaran. Tampaknya pelajaran itu dipakai. Katakanlah kalau kita mengatakan kebijakan fiskal harus prudent, itu di banyak negara bukan sesuatu yang gampang loh untuk mencapai status seperti itu. Karena banyak negara yang fiskalnya berdarah-darah dan tidak punya kemampuan politis untuk mengoreksi itu. Seperti Brasil hari ini, APBN-nya berdarah-darah, kemampuan politik untuk melakukan koreksi tidak ada. Dan resistensi dari sisi hukum maupun pusat dan daerah itu masih sangat sulit untuk membuat koreksi itu.

Kita sudah punya UU Keuangan Negara. Pemerintah daerah, pemimpinnya walaupun mereka harus memperbaiki kapasitas tapi tidak ada dinamika bentrokan antar daerah dan pusat, antara eksekutif dan legislatif yang membuat proses itu lumpuh. Dinamikanya masih sehat.

Lalu apa tantangannya?

Tantangannya adalah management dan efektivitas dari management saja. Kemampuan suatu ekonomi untuk maju itu kan mencerminkan apakah ada suatu institusional setting yang mampu bekerja secara efektif. Jadi masalah efektivitas sebetulnya. Apakah kita punya institusi pemerintahan yang efektif, well managed, akuntabel, transparan dan prioritasnya sesuai dengan masalah fundamental yang dihadapi oleh perekonomian dan masyarakat.

Kalau dari sisi prioritas, aspirasi, visi, misi, tampaknya Indonesia top-lah soal itu. (Yang jadi pertanyaan) Efektivitas untuk deliver itu.

Pertanyaan selalu di situ, di implementasinya, ada lack cukup senjang?

Yang saya khawatirkan adalah kemampuan kita secara institusional untuk bisa menjalankan kemajuan itu berdasarkan trust dan support. Kenapa Pak Jokowi selalu ingin connect dengan rakyat, pengen dapat feedback, karena trust terhadap institusi pemerintahan itu masih menjadi PR besar. Dan oleh karena itu perlu dilancarkan berbagai macam program untuk mengembalikan kepercayaan itu.

Jadi caranya sudah betul?

Caranya betul tapi kemudian reaksi dari institusinya juga harus dipercepat. Umpamanya seperti kita mengatakan tax ratio kita harus naik, kita harus memerangi tax avoidance, memperluas basis pajak. Itu kan udah benar. Bahkan, perlu tax amnesty, bahas tax amnesty. Aparat pajak perlu gaji yang cukup, Presiden kasih gaji yang cukup. Jadi semua necessary condition, kondisi yang diperlukan itu sudah ada. Sekarang tinggal management-nya, trustnya, confident-nya.

Orang mengatakan apa bisa percaya pada kementerian keuangan, apa bisa percaya kepada direktorat jendral pajak, apakah bisa mempercayai UU itu dijalankan secara konsisten. Apakah kita punya kompetensi untuk mengelola itu. Karena orang kan kadang-kadang dengan menggunakan UU saja, asal menggunakan UU, bahkan pemerintah bisa menggunakan power itu secara eksesif karena pemerintah menganggap bahwa kita memerintah, jadi kita punya power. UU itu sebenarnya bukan untuk memerintah atau meng-enforce tapi untuk menciptakan environment atau lingkungan yang baik penuh kepastian. Kan beda sekali, UU untuk mengancam atau menciptakan kepastian. UU bisa sama tapi mindset yang menjalankan bisa beda.

Jadi Anda percaya performance ekonomi kita masih below potential?

Sangat below potential karena kalau Anda lihat dari indikator segala macem, doing business kita, competitive index, effectiveness institusi. Itu semuanya masih perlu diperbaiki. Kalau kita membangun bangsa, sebagian besar untuk membangun institusi yang baik.

Apakah kita punya resources untuk memaksimalkan potensi yang besar itu?

Oh punya banyak sekali. Kadang-kadang kan bukan resources dari sisi duit ya, tapi resources juga vision maupun ability untuk meraih visi itu menjadi sesuatu yang riil. Kualitas sumber daya kita kurang baik, misalnya, kita membelanjakan untuk pendidikan lumayan banyak. Jadi, its not a matter of resources. It’s a matter of how good you spend the money. Uang yang segitu banyak itu jadi apa. Masyarakat jadi cerdas atau enggak, rakyat miskin sudah bisa masuk sekolah atau enggak, sekolah kurikulumnya baik atau enggak. Kesehatan, kita sudah bikin 5% dari APBN itu jadinya seperti apa.

Jadi, bagaimana memanage fiskal sebagai salah satu instrumen menuju ke situ?

Mengelola ekonomi itu kan sebenarnya tujuannya menciptakan kesempatan kerja, memerangi kemiskinan, harus ada growth yang sehat dan inklusif. Instrumennya macem-macem, ada instrumen fiskal APBN, instrumen moneter, instrumen kebijakan-kebijakan sektor riil. Kita harus melihat semuanya ini secara keseluruhan. Jadi kalau sekarang banyak pertanyaannya ke saya apakah APBN itu bisa mendukung tujuan-tujuan itu. Kan ada yang mengatakan APBN jadi pengerem dari pada pendukung. Tapi kan saya mengatakan APBN bisa menjadi instrumen yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan termasuk mengurangi kemiskinan, kesenjangan, dan memberikan kesempatan kerja kalau APBN ini sustainable. Kalau tidak, seperti menggunakan suatu mesin, alat kita pakai terus menurus, dia bisa rusak di tengah jalan.

Jadi sekarang tantangan yang paling penting adalah menempatkan APBN sebagai suatu instrumen yang pas dan pantas dan sustainable. Dan dia bukannya satu-satunya instrumen. Ada instrumen moneter, ada instrumen sektor perdagangan, investasi, tenaga kerja, BUMN, dan lainnya, itu semua dipakai untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Jangan semua relay on APBN yang kemudian APBN-nya jebol dan kemudian akan membawa persoalan lebih serius lagi. Gunakan semua mesin apalagi kalau ambisinya makin tinggi dan makin besar....

Apakah Presiden Jokowi setuju dan mendukung ini?

Sangat.

Apa yang membuat Anda yakin ekonomi bisa tumbuh 5,3% saat volume anggaran turun?

Pertama mungkin pembandingnya dulu, kalau dilihat 2016 kan Anda mengatakan turun volumenya karena bandingkannya dengan APBNP 2016 (bukan realisasinya).

Revenue-nya tahun 2017 kita cuma tuliskan Rp1.736 triliun padahal di APBNP 2016 Rp1.784 triliun. Turun Rp50 triliun. Pajak turun lagi Rp1.496 triliun dibandingkan tahun sekarang ini Rp1.539 triliun. Tapi kan di dalam sidang kabinet disetujui dan diumumkan bahwa penerimaan pajak (tahun 2016) itu tidak Rp1.539 triliun. Kita sudah mengatakan kemungkinan short Rp219 triliun. Ini outlook-nya, kemungkinan yang terjadi di 2016. Jadi Anda mau bandingkan untuk 2017 asalah Rp1.539 triliun dikurangi Rp219 triliun. Terus dibandingkan dengan Rp1.496 triliun itu masih ekspansif 15%.

Spending juga sama, kan Rp758,4 triliun. Belanja tahun ini Rp767,8 triliun, kita potong Rp65 triliun, jadi kalau anda lihat Rp702 triliun saja tahun ini. Jadi tetap ekspansif. Yang paling penting dampaknya ke ekonomi kan riil-nya, bukan UU-nya. Realisasinya itulah yang kita anggap 2016 akan banyak koreksi yang sudah disampaikan dari sisi penerimaan maupun belanja.

Artinya realisasi APBN 2016 ini turun. Apakah pertumbuhan ekonomi masih bisa 5,2%?

Saya memiliki confident bahwa 2016 ini yang kita koreksi adalah angka yang bubble tidak realistis. Jadi kalau seperti Anda punya air, terus dikasih bubble, banyak umpluk-nya kalau bahasa Jawa. Di 2016, yang kita koreksi ini hanya ngambil umpluk-nya aja tapi basisnya sebetulnya masih sama. Bubble-bubble ini yang menyebabkan orang agak confused dan bahkan ada pertanyaan mengenai confident kepada angka-angka APBN 2016. Belanja dikurangi di K/L dan daerah itu sebetulnya  mengurangi hal yang sudah tahu enggak realistis saja, tapi basisnya tetap sama. Jadi pesannya adalah APBN ini menjadi lebih realistis, kredibel, dan pertumbuhan ekonomi 2016 maupun yang diasumsikan 2017 basisnya adalah faktor-faktor riil tadi.

Kalau dari sisi source of growth, kondisi kuartal II tumbuh 5,18%, it's quite positive. Kalau Anda lihat dari komposisi sektoralnya, saya rasa kita sudah melihat, pertambangan mungkin masih negatif, tapi beberapa sektor yang selama ini dianggap lemah seperti konstruksi, perdagangan, itu sudah mulai leveling. Sekarang mulai pick up.

Di perdagangan internasional, ekspor–impor masih negatif tapi penurunannya tidak sedrastis seperti akhir tahun lalu. Jadi kita punya harapan untuk sisa 2016 ini akan membaik. Apalagi kalau signal pemerintah lebih jelas terkait apa yang mau kita lakukan, bisa menciptakan momentum yang lebih positif, maka kita akan lebih baik lagi.

Jadi sisa tahun ini dan tahun depan mengandalkan dari domestik?

Saya terus terang lebih konservatif dari sisi ekspor-impor, karena dari seluruh dunia faktor yang memicu perdagangan internasional memang tidak pulih. Jadi ekonomi di Eropa, ekonomi di Amerika, Jepang, China semuanya tetap struggle dengan ekspor dan impor yang sangat lemah.  Kalau Anda lihat outlook ekspor-impor secara internasional itu mereka cuma tumbuh 3%-4%, its very weak. Karena dulu global trade itu ada di kisaran hampir double digit, 8%-10%. Dan sama seperti commodity base economy, Indonesia, Rusia, Afrika Selatan, Brasil, Meksiko, Kolombia itu semuanya akan mengalami pukulan dari sisi perdagangan dunia yang sangat lemah itu. Harapan tumbuh melalui ekspor itu perlu dikurangi, atau direm sedikit. Kita realistiskan-lah.

Makanya, untuk domestik kita tidak boleh membuat policy yang demand-nya lari terlalu cepat sementara suplainya ketinggalan. Karena dalam situasi seperti ini, growth yang relay on domestic demand harus kita jaga speed-nya. Ini bukan masalah directionnya. Arahnya sudah benar, tapi kalau speed-nya terlalu cepat akan menghadapi capacity constrains dan overheating.  Itu yang menjadi penting dari paket kebijakan di tempat Pak Darmin (Menko Perekonomian) itu. Dari sisi perdagangan, investasi, tenaga kerja, (berupaya mengatasi) semua yang menjadi kendala dari sisi suplai-nya.

Seberapa yakin pemangkasan anggaran bisa dilakukan mengingat hampir separuh lebih APBN sudah berjalan?

Kami sudah punya datanya, berapa K/L benar-benar membelanjakan, berapa yang sudah benar-benar dikontrakkan. Kita mempunyai data persis berapa jumlah untuk bayar gaji dan honor. Kita masih punya Rp190 triliun dana yang belum terpakai. Dari angka itu, sesudah dikurangi gaji dan lain-lain, kita masih punya ruangan untuk mendapatkan Rp65 triliun. Sekarang kementerian/lembaga harus melihat lagi, apakah sisa anggaran yang mau dibelanjakan masih sesuai dengan prioritasnya. Ini yang paling penting. Kalau untuk proyek-proyek infrastruktur, saya relatif lebih confident karena sekarang sudah punya mekanisme multiyears.

Kalau dilihat kecepatan belanjanya, kita sama sekali enggak ngerem wong banyak yang masih belum belanja. Jadi message-nya, itu benar-benar pemotongan, misal ada K/L proyek Rp6 triliun. Terus dia bikin lelang, sudah jadi, hasilnya Rp4 triliun. Rp2 triliun itu sisa benar-benar kita ambil. Jadi kalau tanya optimis, kita bisa.

Kalau sekarang dibuat realistis, berarti sebelumnya tidak realitis? Apa pertimbangannya?

Saya menggunakan yang dulu untuk basis menghitung saja. Tahun 2014 itu penerimaan dari pajak Rp1.146,9 triliun. Kalau lihat realisasi dari perpajakan saja, itu Rp100 triliun (lebih kecil) dari yang dianggarkan APBN. Tahun 2015, angka realisasi berdasarkan laporan keuangan yang diaudit BPK itu Rp1.240,4 triliun, kalau dibandingkan APBNP-nya itu short-nya Rp249 triliun. Jadi kalau Anda lihat UU-nya tinggi banget, tapi realisasinya di bawah.

Dari 2014-2016, kalau tidak dikoreksi itu naiknya 29% terus 24% lagi. Dalam sejarah kita, penerimaan negara tidak bisa loncat setinggi itu.

Ada wacana untuk tidak membatasi defisit anggaran 3%?

Kalau melihat UU Keuangan Negara, defisit anggaran 3% itu kan sudah countercyclical. Artinya kalau ekonomi kita lemah, kita melakukan defisit anggaran maksimum 3% itu. Masalahnya adalah seberapa besar, seberapa dalam atau seberapa kuat Anda melakukan countercyclical. Apakah perlu sampai 5% dari PDB, atau seperti India yang sampai 7%, meski kemudian turun ke 5%. Brasil defisit anggarannya bisa lebih dari 5%, Rusia lebih besar dari itu. Jadi magnitude-nya.

(Masalahnya) Saya melihat ekonomi RI tumbuh 5,3%, sebetulnya kita tidak mengalami kontraksi. Kalau seperti Brasil pertumbuhannya -5% atau -2%, dia perlu ekspansi defisit anggaran -5% atau -7%, itu masuk akal karena nyungsepnya dalem banget. Atau seperti Rusia, pertumbuhannya -5% atau -3%, maka untuk mengurangi penderitaan dari kontraksi itu, dia harus melakukan defisit anggaran. Jangan lupa, Rusia itu punya cadangan fiskal besar karena waktu harga minya US$100 per barel, dia simpan.

Kalau untuk Indonesia, konteksnya adalah kita sudah tumbuh, tapi kita ingin tumbuh lebih tinggi. Jadi itu bukan countercyclical. Nah, apakah untuk pertumbuhan yang lebih tinggi ini instrumennya harus APBN saja? Padahal APBN ini harus dijaga sebagai instrumen yang sustain. Kalau misalnya mau pertumbuhan 6%, itu bisa memakai instrumen lebih banyak sektor riil. Kalau kita mau belanja lebih banyak lagi, tapi prioritas tidak bagus, lebih banyak wasted seperti perjalanan dinas, malah pemerintah membuat kegiatan yang aneh-aneh.

Lalu bagaimana caranya agar instrumen fiskal turut menggerakkan sektor riil?

Dari sisi pendapatan, kita melakukan kontraksi, karena kita meminta tax ratio lebih tinggi, misalnya dengan tax amnesty, dari 11% ke 15%, itu artinya kita mengontraksi ekonomi sebanyak hampir 4% karena tax ratio naik. Tapi di dalam UU Pajak dan UU Penamanan Modal, kita juga bisa memberikan tax allowance atau tax holiday. Jadi untuk sektor-sektor tertentu, kita masih bisa berikan stimulus. Untuk sektor tertentu apakah untuk infrastruktur, perintis, kita bisa berikan fasilitas fiskal.

Kalau dari sisi belanja, belanja kita adalah infrastruktur, pengentasan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Tidak semua belanja itu harus dari APBN yang membelanjakan. Kalau memang masyarakat ingin menggunakan uangnya untuk berwisata sehingga pariwisata naik, itu kan konsumsi rumah tangga. Lalu kalau orang-orang sekarang ingin lebih banyak makan di luar, kuliner, sehingga sektor perdagangan naik, kan tidak perlu APBN, rakyat saja yang melakukan.

Karena duitnya terbatas, belanja dari APBN fokus ke yang swasta tidak berani masuk karena risikonya besar sekali. Apakah itu infrastruktur di daerah perintis, subsidi orang miskin, mengurangi kesenjangan. Itu yang dipakai oleh APBN kita.

Dari sisi pembiayaan, karena defisit anggaran kita 2,3%-2,4%, apakah kita bisa gunakan capital market dan bond market lebih dalam dan advance. Kita bisa membuat perekonomian kita tidak terlalu volatile ketika ada sentimen atau ada dari the Fed, Bank Sentral Eropa, China dan Jepang berubah kebijakan. Kalau capital market kita makin deep, instrumennya makin bervariasi, analoginya kalau Anda punya kolam yang dangkal dilemparin batu kecil saja percikannya tinggi banget. Kalau kolamnya besar dan dalam seperti misalnya Danau Toba, dilemparin batu 1 ton, blesss...masuk saja.

Fungsi kita adalah membuat financial sector dan capital market kita menjadi dalem dan instrumennya banyak. Kan yang tidak bisa kita kontrol kan goyangan dari luar, tetapi kalau goyangan datang, kita punya absorber yang banyak. Jadi APBN kita coba gunakan untuk itu.

Fokus sisi pembiayaan ke diversifikasi instrumen?

Jadi message itu yang terus-menerus kita lakukan. Sekali lagi dalam mengelola dan me-run ekonomi, walaupun APBN itu penting, tapi itu bukan satu-satunya instrumen. Kami bukan satu-satunya lembaga yang bisa membuat ekonomi baik atau buruk, ada banyak lembaga. Tapi kami bisa membuat APBN menjadi instrumen yang sangat efektif kalau kami bisa jelas dan kredibel.

Penerimaan pajak tidak tumbuh pada 2009 setahun setelah sunset policy pada 2008. Sekarang dengan tax amnesty, bagaimana penerimaan pajak tahun depan?

Saya menganggap tax amnesty akan memberikan basis pajak yang lebih luas, sehingga obyek pajak menjadi lebih banyak dan lebar. Subyeknya memang sama atau mungkin tambah, karena yang sebelumnya tidak punya NPWP bisa ikut tax amnesty. Kalau basis lebih bagus dan lebih luas, ditambahkan pertumbuhan ekonomi secara nominal dan inflasi, kalau kita tumbuh 5,3% plus inflasi 4%, ini 9,3% kenaikan yang sudah pasti harus didapatkan.

Walaupun sebenarnya, UU Pajak pengecualiannya sudah banyak banget, sektor-sektor tertentu tidak dipajakin. PPN kita tidak naik setiap kali denyut ekonomi naik, tidak semuanya itu menjadi revenue. Maka, extra efort 4%-6% itu sudah sangat besar.

Apa yang kita lakukan? Semua kanwil pajak lihat, saya sudah bicara satu demi satu itu dengan 33 kanwil pajak, setiap kanwil, mereka melihat semua potensi ekonomi. Mereka mengatakan ada yang sebagian belum dilihat, dipajaki. Misalnya ada satu kanwil, ada 60 notaris, yang 20 notaris punya NPWP, 40 tidak punya NPWP padahal praktek. Loh itu kok tidak dikejar. Artinya masih banyak effort yang bisa dilakukan. Kalau TA itu basis kita tidak usah dikejar tapi masuk. Itu jadi basis kita tahun depan.

Sunset policy itu kan juga banyak ketidakpastian. Ada di-challenge juga di MK karena dianggap landasannya tidak kuat. Tapi ada beberapa potensi saya ingat seperti ada palm oil, ritel yang space, pajak untuk UMKM yang hampir semuanya tidak dipajaki. Waktu sosialisasi kemarin, ada satu orang dengan gagah berani bilang, suplier saya tidak ada yang punya NPWP. Padahal ini perusahaan yang cukup besar dan formal, dengan beraninya dia bilang. Ini kan amazing.

Dari jaman Pak Darmin menjadi dirjen pajak, kita sudah mencoba ke titik-titik itu. Kapasitas ditjen pajak, mulai dari stafnya, institusinya dan peraturannya kan diperbaiki terus, jadi ya kami optimis saja. Saya akan mengatakan bahwa potensi ada, upaya sudah pernah dilakukan sehingga kita belajar yang dulu gagal  apa saja dan apa yang bisa dipakai, leadership penting dan governance. Dulu kan orang tidak percaya DJP, lalu ada kasus XYZ, ada aparat pajak yang duitnya banyak banget. Orang jadi menanyakan mengenai integritas orang pajak. Nah itu kita perbaiki. Tax amnesty itu kan untuk orang kaya sampai orang biasa. Rate 2% itu sangat rendah bahkan untuk komparasi seluruh dunia.

Saya begini saja, optimis dan realistis. Optimis dalam arti karena saya melihat potensinya sangat banyak. Realistis dalam arti saya akan melihat seberapa mampu institusi ini mengejar secara kredibel, jadi dia tidak mengejar sambil mengancam sehingga membuat masyarakat menjadi resah.

Bagaimana arah revisi Paket UU Perpajakan?

Kan saya baru 3 minggu, saya akan lihat semuanya. Kan saya perhatikan beberapa, misalnya orang akan KUP akan melihat efektivitas ketentuan umumnya, administrasi dan institusi, karena orang akan melihat apakah direktorat jendral pajak sebagai pemungut pajak akan memiliki power yang cukup tapi memiliki akuntabilitas. Karena kalau kita kasih power yang kuat tapi tidak akuntabel, nanti akan abuse kan. Saya belum lihat, saya punya belum cukup waktu untuk mendapat briefing detil mengenai  RUU yang sudah masuk ke DPR.

Saya rasa fokus utamanya, message utama adalah membuat DJP menjadi institusi yang punya kredibilitas, punya power yangg efektif dan punya akuntabilitas untuk melaksanakan peraturan perundangan.

Termasuk pelepasan DJP dari Kemenkeu?

Saya akan melihat, saya belum melihat konteksnya seperti apa. Apapun yang akan membuat DJP efektif dan akuntabel, akan saya lakukan. Karena ini hanya dimiliki di Indonesia, karena banyak negara sudah punya debate mengenai di mana posisi institusi pajak yang baik, bagaimana pengaturannya powerful tapi tetap akuntabel. Powerful tapi tidak abusive. Itu yang perlu dijaga.

Untuk PPh dan PPN, sudah banyak yang bertanya kepada saya apakah rate-nya akan sama atau perlu turun. Saya akan melihat dari berbagai segi. Dari sisi kemampuan untuk tidak kehilangan momentum penerimaan negara. Karena jangan sampai tujuan yang baik tapi tidak well-planned, kita jeblok duluan dan kita mengalami krisis. Jadi apapun rate-nya, bracket-nya, saya akan melihat saja studinya seperti apa, seberapa besar potensi ekspansi dan loss-nya. Dan kemudian APBN seperti apa yang kita inginkan dalam jangka menengah-panjang. Itu yang kita harus lihat. Nanti baru kita lihat apakah PPh dan PPN ini perlu direvisi dari sisi rate, pengelompokannya.

Lalu ada yang melihat, bagaimana kalau kita menggunakan GST seperti di Singapura, saya melihat dulu saja pro dan kontranya. Karena ketiak saya masuk kan sudah banyak RUU yang sudah masuk ke DPR. Jadi kita nanti juga akan bersepakat dengan DPR mengenai apa yang terbaik untuk republik ini kan.Tapi tugas saya yang paling penting, Kemenkeu punya studi untuk mempresentasikan, bukti nyata seperti apa. Jangan sampai kita punya angan-angan, ditaruh di UU, tapi tidak terjadi. Jangan sampai. Atau realitasnya jauh banget, terus repot menambal kredibilitas.

Sebagai pengelola negara, DPR dan Pemerintah harus sama-sama sepakat, misal kalau mau belok, misalnya ini tandanya, rambunya, supaya goncangan tidak besar dan tujuannya malah tidak tercapai. Kita jelas bukan bajaj. Belok kiri dan kanannya harus dijaga.

Kualitas reformasi pajak akan menentukan keberhasilan amnesti pajak. Banyak orang khawatir kalau rezim pajak tidak direformasi? Termasuk tarif  dan lainnya?

Pandangan itu sangat logis. Tarif, tingkah laku, kinerja dan kemampuan kita untuk meng-enforce. Karena kalau tarif tinggi kan meng-enforce lebih susah. Selama ini ada yang bicara dengan Presiden, misalnya, ada yang bilang kalau tarif rendah terus comply, ya tidak juga. Ada tarif rendah tapi juga tidak comply. Karena pada dasarnya orang kan males bayar pajak, di mana saja. Kita harus melihat kemampuan DJP, kapasitasnya, kompetisi rate, tapi pada saat yang sama kita harus melihat keberlanjutannya. Jadi memang tax amnesty ini kesempatan yang sangat baik untuk melihat semuanya. Progress per bulan dari program ini kan bisa disampaikan dengan Parlemen, ini loh dengan Undang-undang seperti ini kita bisa mendapatkan sekian, kita mungkin persoalannya ada kesiapan, kapasitas. Kalau pun kita mau ke sana kan ada basisnya. Jangan kita mau ke sana tapi basisnya lain, nanti malah salah dalam membuat keputusan.

Kami dari Kementerian Keuangan yang paling penting mempersiapkan semua itu. Jadi nanti ketika membahas dengan DPR, jadi DPR memiliki informasi yang sebaik, seakurat dan sekredibel mungkin. Bahwa ini adalah proses politik, ya tentu saja, kan ini demokrasi. Untuk legislasi, pemerintah harus bekerja sama dengan DPR. Paling tidak kalau datanya akurat dan kredibel, kita tidak membuat keputusan dengan informasi yang menyesatkan atau tidak realistis lalu membuat masalah di semua hal.

Kalau melihat jumlah tebusan amnesti pajak yang masih minimal, apakah target Rp165 triliun itu terlalu besar?

Harus hati-hati melihatnya. Saya bertemu dan berdikusi dengan Apindo dan pengusaha yang punya minat berpartisipasi. Sebagian memang genuinely secara riil membutuhkan proses, karena penempatan harta mereka di luar kan tidak semuanya deposito menganggur begitu. Sebagian dalam bentuk SPV, entitas lain. Jadi mereka harus melihat proses legal, akuntansinya dan finansialnya. Berapa harta bersih, dll. Lalu di Indonesia bentuknya bagaimana. Jadi memang secara faktual, proses ini masih terjadi. Kita baru sosialisasi karena UU baru Juli.

Kita berharap untuk perusahaan dan individu yang punya kekayaan signifikan agar masuk. Jadi memang trennya tidak akan linier, mungkin satu titik tertentu naik. Kita akan melihat sama-sama. Saya tidak akan membuat komentar mengenai target itu hari ini.Saya usahakan saja terus.

Jadi masih confident dengan target amnestiu pajak sejauh ini?

Saya akan usahakan terus sampai punya bukti yang sangat kredibel untuk membuat adjustment lagi kalau diperlukan.

Terakhir, apa yang Ibu rasakan ketika kembali ke kantor yang sama, ke Kementerian Keuangan, setelah 6 tahun pergi?

Saya 6 tahun sudah melihat banyak negara-negara di dunia dan bagaimana lembaga internasional seperti World Bank, saya punya kapasitas untuk melihat dan membanding-bandingkan. Mungkin perasaan yang paling penting itu, saya punya humility yang cukup besar hari ini, saya tidak punya pretensi. Saya menganggap bahwa mengelola keuangan negara itu tugas yang sangat berat jadi tidak boleh sembrono dan main-main.

Sebetulnya ini perasaan lama yang muncul lagi ketika Anda masuk ke sini. Kredibilitas itu sulit sekali dibangun, dan hilangnya cepat. Jadi waktu saya masuk ke sini, saya punya semacam sikap mental, bahwa membangun reputasi dan kredibilitas Kementerian Keuangan itu dibutuhkan kerja yang sangat keras. Dan pengalaman masa lalu saya di sini maupun pengalaman saya bekerja di luar akan saya pakai sebanyak mungkin untuk membuat prosesnya lebih singkat. Lebih singkat karena mungkin saya sudah cukup tahu ranjau-ranjaunya, titik lemahnya.

Tapi di sisi lain, tugas saya kan bukan untuk menghindari ranjau, tugas saya kan untuk membangun institusi, kalau saya hanya loncat-loncat menghindari ledakan-ledakan itu kan tidak benar. Pada dasarnya Anda memimpin institusi ini, dan institusi ini harus menjadi kredibel, salah satu aset negara. Kombinasi inilah yang, saya rasa saya hanya mencoba fokus saja lah. Jangan pernah merasa sok tahu, jangan pernah merasa kamu sudah mengerti semua, meskipun ini pekerjaan yang sama, saya harus mengingatkan diri saya untuk mampu melihat dan mendengar lebih teliti saja. Karena Indonesia kesempatannya sangat banyak tapi juga tantangannya tidak mudah. Harapan masyarakat juga sangat tinggi.

Kita jalankan saja dengan penuh kecintaan. Kan saya selalu bilang, jangan pernah lelah dan putus asa mencintai Indonesia. Itu selalu yang saya katakan. Karena everything you feel something, tidak boleh capek dan putus asa itu adalah bentuk cinta kepada republik.

Bagaimana mengelola ekspektasi banyak orang di tengah banyak ranjau seperti itu?

Saya menganggap ekspektasi ini adalah fungsi dari suatu harapan. Jadi kalau mengelola harapan atau ekspektasi adalah Anda kalau bisa membandingkan dengan realitas. Buat saya, karena saya Kementerian Keuangan bukan yang lain, profesi saya adalah CFO republik, ekspektasi ini di-grounded-kan atau dilandaskan, dijangkarkan kepada realitas. Bicara tentang angka, basisnya ada, metodologinya bisa dibandingkan dan jelaskan secara mudah dan jernih.

Kalau perasaan kan lain. Saya suka atau tidak suka, saya makan keju atau mangga itu kan preferensi. Tapi yang riil, sebagai menkeu ukuran saya mengelola kementerian ini dan ada landasan undang-undangnya. Jadi apa yang saya jelaskan ke masyarakat, ke dunia usaha sama dengan ke DPR sama dengan ke DPD sama dengan ke DPD sama dengan ke Presiden sama dengan ke kabinet sama dengan ke rating agency dan ke market semuanya sama. Sesudahnya kan mereka compare note kan, dan mereka akan bilang, oh iya seperti ini.

Saya rasa begitu mereka memahami persoalannya, dan kita menjelaskan apa yang akan kita lakukan, itu akan membantu untuk menerjemahkan ekspektasi tinggi menjadi suatu rencana kerja. Ekspektasi itu masih banyak aspek subyektivitasnya, kalau sudah menjadi rencana kerja itu sudah ada basisnya. Ini akan membuat orang menjadi lebih obyektif, realistis. Tidak ada keajaiban dalam mengelola ekonomi. Jadi caranya komunikasi. Jangan mengharapkan yang ajaib, tapi harapkan berdasarkan profesionalisme, harapkan berdasarkan kredibilitas dari apa yang Anda sampaikan. Itu harapan yang bisa saya pertanggungjawabkan. Kalau di dunia lalu ada saja keajaiban, kalau itu terjadi, itu anggap saja bonus.

Kalau kita di dalam mengelola keuangan negara ya kita harus menjelaskan, dari mana asalnya, bagaimana menghitungnya, bagaimana mengoleksinya, bagaimana membelanjakannya, apa ukuran keberhasilannya, bagaimana mengelola. Itu akan membuat suasanya lebih realistis, tidak ada bubble-nya. Jadi grounded. (*) 

PEWAWANCARA: Kurniawan Agung, Arys Aditya, Surya Mahendra Saputra, Hery Trianto, Arif Budisusilo

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Tim Bisnis
Editor : News Editor
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper