Bisnis.com, JAKARTA—Kendati sejumlah indikator ekonomi menunjukkan perbaikan, Bank Indonesia akan terus mengamati perkembangan sentimen global dan domestik untuk melakukan lanjutan relaksasi moneter.
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo mengatakan bank sentral belum bisa memberi keterangan terkait pelonggaran moneter selanjutnya. Pada 19 Agustus 2016, BI akan mengumumkan angka suku bunga acuan yang baru, yakni 7-day Reverse Repo Rate, menggantikan BI Rate.
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Juli 2016, bank sentral memilih mempertahankan BI Rate pada level 6,5% dan 7-day Reverse Repo Rate pada level 5,25%.
“Kami akan melihat data-data dan informasi yang ada untuk kita kaji kemudian kita akan memutuskan. Tetapi untuk sekarang kami enggak bisa menceritakan apa kebijakan yang akan diambil,” ucapnya, di Jakarta , Selasa (9/8/2016).
Indikator pertumbuhan ekonomi kuartal II/2016 menunjukkan perbaikan dengan capaian 5,18%, sementara inflasi juga terjaga rendah dengan 0,69% (mom) dan 3,21% (yoy).
Terkait rupiah yang cenderung menguat akibat aliran dana yang terus masuk ke dalam negeri, bank sentral akan terus menjaga rupiah berada di fundamentalnya.
“Sehingga betul-betul akan baik bagi kemajuan ekonomi Indonesia secara jangka menengah, secara berkesinambungan,” katanya.
Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Leonard VH. Tampubolon mengatakan pemerintah perlu mendorong investasi untuk memberikan dampak positif terhadap produktivitas perekonomian dometik sehingga mampu meredam dampak negatif dari luar.
Di sisi lain, peranan suku bunga juga penting dalam mendorong perekonomian domestik. Sentimen negatif bagi perekonomian dalam negeri seperti pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat, penurunan pertumbuhan ekonomi di China, penurunan harga minyak dunia, dan dampak dari referendum keluarnya Inggris dari Uni Eropa.
“Untuk simulasi kejutan perekonomian domestik, peranan suku bunga penting dalam mendorong perekonomian domestik,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto mengatakan pelonggaran moneter masih bisa dilakukan untuk terus memacu ekspansi di sektor riil. Upaya relaksasi itu juga merupakan sinyal bahwa bank sentral mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dia menilai perlu adanya disintenstif bagi perbankan yang melakukan aktivitas lazy bank, seperti berkutat di area Surat Utang Negara (SUN) demi memperoleh keuntungan dari bunga.
Di sisi lain, dia menilai pelonggaran tidak terbatas pada macroprudensial karena hanya bersifat sektoral. “Pelaku ekonomi sulit memahami macroprudensial, sangat sektoral, hanya di LTV [loan to value], kredit kendaraan bermotor, itu sangat segmented. Jadi sektor moneter harus siap mendorong upaya pertumbuhan ekonomi,” katanya.