Bisnis.com JAKARTA -- Industri makanan dan minuman mengaku belum siap menghadapi sertifikasi halal yang bakal berlaku mandatori pada November tahun ini.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan dengan tegas industri di sektornya belum siap menerima kewajiban sertifikasi halal yang akan berlaku mulai November 2016.
“Semua belum siap, terutama UMKM. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal [BPJPH] saja juga belum siap. Sangat tidak masuk akal kalau dipaksakan,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (31/7).
UU No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal pasal 4 menyebutkan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Menurut usulan Kementerian Agama dalam rancangan PP, jaminan produk halal akan berlaku mandatori secara bertahap, yaitu berlaku pada produk pangan mulai November 2016, kosmetik pada 2017, obat pada 2018, dan akan berlaku secara serentak pada 2019.
Senada dengan Adhi, Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Rahmat Hidayat khawatir akan terjadi antrean panjang karena lembaga sertifikasi hanya dilakukan oleh LPPOM MUI.
Menurutnya, dengan lamanya proses sertifikasi yang bisa mencapai hitungan tahun akan sangat membebani industri mengingat tenaga MUI yang masih sedikit.
UU tersebut berlaku untuk seluruh perusahaan tidak ada terkecuali. Menurut data dari Kemenperin jumlah unit usaha sekitar 30 juta, maka diakhawatir akan terjadi antrean panjang dalam mengurus sertifikasi.
“Memang pemerintah sanggup mencetak auditor langsung seperti mesin cetak. Auditor halal kan harus dididik,” ungkapnya.
Menurutnya, sertifikasi halal lebih baik diberlakukan secara suka rela saja dan biar itu menjadi pilihan bagi konsumen.
“Bagi masyarakat muslim yang menyadari, konsumsi saja makanan yang halal dan cari yang ada label, tapi kalau tidak ada labelnya jangan beli. Kalau sudah begitu pelaku usaha akan mati-matian sertifikasi halal,” katanya.