Bisnis.com, JAKARTA - Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia III mengecam kriminalisasi terhadap pekerja Badan Usaha Milik Negara yang bertugas di Pelabuhan Tanjung Emas terkait sengketa bongkar muat.
Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia III mempertanyakan dasar penerapan tersangka tersebut mengingat salah satunya adalah pengenaan Pasal 263 KUHP yang mengatur tentang pemalsuan surat.
Wakil Ketua Umum Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia (SPPI) III Abdul Rofid Fanany menyesalkan keputusan penyidik Polda Jawa Tengah yang menetapkan General Manager Pelindo III Tanjung Emas Semarang sebagai tersangka.
“Sekarang apa yang dipalsukan? Kami yakin Pelindo III sebagai BUMN tidak akan pernah melakukan pemalsuan surat atau dokumen. Kalau menggunakan dasar lain yang juga diatur dalam dalam UU Nomor 17/2008 sebagai dasar untuk melakukan kegiatan bongkar muat, apakah hal tersebut bisa dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen?” ujarnya dalam siaran pers, Senin (29/05).
Kriminalisasi tersebut menjadi kelanjutan dari persoalan sengketa bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Sebelumnya, pelayanan kegiatan bongkar muat yang dilakukan Pelindo III dihentikan oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Emas Semarang.
Akibatnya, General Manager Pelindo III Tanjung Emas Semarang Tri Suhardi ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Penetapan tersangka tersebut atas laporan yang diajukan Ketua DPW Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Jawa Tengah, yang menuduh kegiatan pelayanan bongkar muat yang dilakukan Pelindo III tidak memiliki izin dan menyalahi aturan.
Lebih lanjut, Abdul menyebut bahwa laporan DPW APBMI Jawa Tengah dan penetapan sebagai tersangka General Manager Pelindo III Tanjung Emas Semarang dapat menghambat upaya pemerintah untuk memperbaiki kinerja logistik nasional.
Dia menilai hal tersebut semestinya tidak terjadi jika semuanya dikembalikan kepada Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
“Kalau yang dipersoalkan DPW APBMI Jawa tengah tentang Pasal 30, 31, 32 Undang-Undang Pelayaran yang menyebutkan bahwa kegiatan bongkar muat dilakukan oleh perusahaan khusus, mereka juga seharusnya melihat di Pasal 90, 91, 92 bahwa pelayanan jasa bongkar muat dapat dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP),” jelasnya.
Selain itu, dia meminta agar penyidik juga melihat pasal tersebut karena Pelindo III merupakan BUP. Jadi kegiatan Pelindo III secara undang-undang itu sah dan legal.
Pada 2010, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) APBMI pernah mengajukan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi mengenai keberadaan Pasal 90 Undang-undang 17 tahun 2008.
Namun putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa keberadaan pasal tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menolak permohonan yang diajukan oleh DPP APBMI.
Sementara itu, penegasan Pelindo III sebagai BUP jelas tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 88 Tahun 2011 tentang Pemberian Izin Usaha Kepada PT Pelabuhan Indonesia III (Persero) sebagai Badan Usaha Pelabuhan. Keputusan Menteri tersebut salah satunya menyatakan bahwa Pelindo III dapat melakukan kegiatan pengusahaan jasa kepelabuhanan di antaranya adalah penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang.
“Sebelum ada Undang-Undang 17 tahun 2008 pemerintah juga secara tegas menyatakan bahwa memberikan izin kepada Pelindo III untuk melakukan kegiatan bongkar muat. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.6 Tahun 2002,” ungkap Abdul.
Kisruh mengenai pelaksanaan kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Emas ini sempat menjadi perhatian Ombudsman Republik Indonesia.
Melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Perhubungan, Ombudsman RI menyatakan bahwa kegiatan bongkar muat yang dilakukan oleh BUP Pelindo III sudah sesuai dengan undang-undang dan menyarankan kepada Menteri Perhubungan untuk membuat penegasan akan hal tersebut.
“MK menyatakan tidak ada masalah, Ombudsman juga sudah memberikan saran kepada Menteri Perhubungan. Harusnya sudah tidak ada masalah lagi terkait dengan kegiatan bongkar muat yang dilakukan oleh Pelindo III khususnya di Pelabuhan Tanjung Emas,” tegasnya.
Abdul menyebutkan, kriminalisasi akan membuat pelabuhan-pelabuhan lain khawatir dalam beroperasi.
“Daripada dikriminalisasi lebih baik menghentikan operasi bongkar muat, baik di pelabuhan konvensional maupun di Terminal Peti Kemas Semarang, Surabaya, dan Banjarmasin. Serikat Pekerja segera menggelar aksi keprihatinan karena ada anggotanya yang dikriminalisasi saat menjalankan tugas dalam melayani pengguna jasa logistik,” tegasnya.
Kasus ini bermula saat kegiatan bongkar muat yang dilakukan oleh Pelindo III di Pelabuhan Tanjung Emas dihentikan oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Emas Semarang pada 19 November 2015.
Saat itu, Pelindo III dianggap melakukan kegiatan ilegal karena belum memiliki izin bongkar muat (SIUPBM).
Ketua DPW APBMI Jawa Tengah Romulo Simangunson melaporkan General Manager Pelindo III Tanjung Emas Semarang ke Polda Jateng dengan tuduhan melakukan kegiatan ilegal.