Bisnis.com, JAKARTA—Porsi pembangunan infrastruktur oleh swasta melalui skema Kerjasama Pemerintah-Swasta atau public-private partnership (PPP) dinilai perlu ditambah.
Adhamaski Pangeran, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, menilai paradigma pejabat pemerintahan perlu diubah untuk mempriotitaskan pembiayaan infrastruktur melalui kerjasama dengan swasta.
Ruang swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan juga masih sedikit. Porsi dalam RPJMN 2015-2019, swasta hanya diberi ruang sebesar 30%, sementara 50% dibiyai oleh APBN dan APBN dan sisanya oleh BUMN.
“Cara pikir sekarang, kalau masih bisa dibangun pakai APBN, kenapa harus dibangun swasta. Harusnya diubah, kalau bisa dibangun swasta, kenapa enggak bangun oleh swasta,” ujarnya, Selasa (19/4/2016).
Dia mengidentifikasi persoalan yang menyebabkan skema pembiayaan PPP belum optimal bagi pembangunan infrastruktur antara lain banyaknya pihak yang terlibat dalam skema PPP, rendahnya kapasitas aparatur dan kelembagaan dalam melaksanakan PPP, sulitnya penerapan peraturan terkait dengan PPP oleh para Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK), dan belum optimalnya kebijakan yang didukung kualitas perencanaan proyek PPP bidang infrastruktur.
Menurutnya, pemerintah perlu meniru negara lain seperti Vietnam, Filipina, dan Thailand yang mendelegasikan partisipasi swasta melalui wewenan satu badan pemerintah sehingga dapat tersentralisasi.
Selain itu, pemerintah juga harus memberikan kepastian hukum mengingat risiko dan waktu yang lama dalam pembangunan infrastruktur. Skema PPP pernah membawa hasil positif seperti jalan tol Solo-Kertosono dan Jalan tol Bali Nusa Dua Benoa.
“Tanpa landasan hukum yang jelas, akan sangat sulit bagi sektor swasta untuk ikut serta dalam pembangunan infrastruktur,” katanya.