Bisnis.com, JAKARTA - Dalam APBN 2016, Pemerintah dan Parlemen menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, naik dari estimasi laju PDB tahun lalu yang berkisar 4,7%-4,8%. Sementara itu, Kemarin, Rabu (20/1/2016), Dana Moneter Internasional (IMF) melansir World Economic Outlook (WEO) edisi terbaru Januari 2016 dan memangkas lagi proyeksi pertumbuhan ekonomi global.
Dalam WEO itu, IMF menilai ekonomi global hanya sanggup tumbuh 3,4%, turun dari proyeksi Oktober 3,6%, yang diakibatkan oleh turunnya proyeksi pertumbuhan negara berkembang dan maju. Emerging Countries diprediksi hanya melaju 4,3% atau turun 0,2%, dan developed countries dipangkas 0,1% menjadi 2,1%.
Berikut ini kelanjutan wawancara dengan Ketua Dewan Informasi dan Strategis Badan Intelejen Negara Dradjad H. Wibowo. (Ketua Dewan BIN: Pasar Global Lebih Menakutkan Ketimbang Teror (I))
Soal pasar global yang lebih menakutkan, apa assessment Anda?
Faktor global ini risikonya besar. Pertama, kecenderungan risiko kenaikan suku bunga di berbagai negara. Karena dengan kenaikan FFR kemarin, mau tidak mau, bank sentral sejumlah negara berusaha membentengi agar dana tidak lari dari tempat mereka ke AS. Dalam level tertentu, mau tidak mau ketika mereka merasa sudah berbahaya, mereka akan menddorong suku bunga. Tentu akan berbeda, tergantung ekonomi domestik masing-masing. Ini risiko cukup besar, walaupun relatif masih bisa terkendali.
Kenapa? Karena dalam FOMC kemarin, bahasa the Fed itu mengatakan pertumbuhan ekonomi AS itu robust, perkembangan di job market sangat menggembirakan. Artinya, kita bisa mengharapkan the Fed tidak akan melakukan kenaikan tingkat bunga secara otomatis di setiap pertemuannya yang delapan kali dalam setahun itu. Tadinya pasar khawatir pasar setiap pertemuan akan naik, jadi orang cemas bukan pada kapan, tapi besaran kenaikan. Tapi dengan assessment the Fed, orang sekarang lebih konfidensi, the Fed akan membahas assessment setiap pertemuan. Artinya, tidak otomatis naik. Ini memberikan certain level of comfort kepada pasar. Tapi ini juga patut diwaspadai.
Kedua, pertumbuhan global yang diperkirakan lebih lambat dari yang diduga semula. Ini dipicu oleh oleh China, ini juga faktor ketiga yang paling berat. Bank Sentral China (PBoC) memperkirakan 6,8%, tapi banyak pihak memperkirakan di bawah 6%. Tentu kita tahu efek dari perlambatan China bagaimana ke Indonesia. Tapi di sisi lain, positifnya, laju ekonomi AS robust, Eropa sudah mulai bergerak, walau belum cepat, tidak lagi menjadi beban. Masih ada Yunani, tapi relatif sudah selesai.
Tapi ada beberapa pusat-pusat yang menjadi beban, seperti BRICS [Brasil, Rusia, India, China dan Afsel] agak terseret ke bawah. Misalnya, harga minyak yang makin anjlok maka bagi Rusia akan makin berat, lalu Brasil yang sudah resesi. Jadi Emerging Markets (EM) itu prospeknya kurang bagus, karena masih banyak mengandalkan dana global, sedangkan dana global tertarik ke AS. Lalu, EM banyak mengandalkan komoditas primer yang harganya sedang turun.
Ketiga, tentu China, dampaknya besar sekali. Orang tinggal melihat China apakah soft atau hard landing. Saya sendiri agak ketar-ketir, karena situasi perbankan di sana mirip RI sebelum 1998. Kondisi banknya, kredit macet, dsb.
Keempat, harga minyak. Apalagi setelah sanksi terhadap Iran dilepas, itu saya rasa Iran akan membanjiri dunia dengan minyak. Bisa saja harga minyak jatuh ke US$20 per barel. Sekarang orang berpikir di bawah US$30 per barel, tetapi kalau perang harga antara Arab dan Iran, apalagi kedua negara ini secara politis berseteru, maka bukan tidak mungkin harga minyak dunia menuju US$20 per barel, ini dampaknya ke penghasil minyak, termasuk Venezuela, Malaysia--yang sebelumnya sudah menderita karena depresiasi ringgit--dan Indonesia.
Kalau dari sisi domestik sendiri bagaimana? Bagaimana assessment Anda dengan paket-paket ekonomi yang sudah diluncurkan?
Peluncuran paket-paket itu membuat saya sendiri harus waspada. Itu delapan paket ini kan sudah terlalu liberal. Saya tidak terbayang, kalau jaman Presiden SBY yang melakukan ini bisa dihajar seperti apa. Sudah reatif liberal. Tapi ternyata, reaksi dari pasar dan investor tidak gegap-gempita. Artinya, nilai tambah dari paket-paket ini bagi mereka dinilai tidak terlalu besar. Ini yang membuat saya prihatin. Tadinya saya melihat, dengan paket yang sebegitu liberal, reaksinya gegap-gempita, meriah, tapi ternyata reaksinya so-so. Ada dua kemungkinan, barangkali memang sudah basi. Atau mungkin, para investor memang sedang drop, cashflow sedang drop. Bisa satu dari dua ini atau dua-duanya.
Sisi belanja bagaimana? Apakah akan ada perbaikan setelah tahun lalu kurang memuaskan?
Tadinya kan kita mengharapkan dana dari China untuk pembangunan infrastruktur, mau tidak mau, dengan kondisi seperti ini, belanja negara harus lebih diandalkan. Hanya, belanja negara saat ini sangat bergantung dengan penerimaan pajak. Jadi boleh saya bilang, kuncinya untuk 2016 adalah kinerja pajak itu menjadi tulang punggung stabilitas fiskal, bahkan stabilitas makroekonomi kita. Pajak dari dulu penting, tapi sekarang, tingkat pentingnya itu makin tinggi. Dengan kondisi global yang seperti tadi, uang lari ke AS, China sedang drop, mau tidak mau dari dalam negeri. Kalau dalam negeri, ya dari penerimaan APBN, karena pelaku usaha cashflow-nya merosot.
Ketika dari APBN, sumbernya ya dari pajak. menjadi jauh lebih penting dari sebelum-sebelumnya. Jadi, berhasil atau gagalnya pajak akan menentukan jatuh-bangunnya stabilisasi fiskal, bahkan stabilisasi makro RI. Karena ketika pemerintah berkata akan membangun infrastruktur sekian, ternyata penerimaan pajak tidak ada, mau tidak mau menerbitkan bond untuk tarik dana, konfidensi akan turun lagi. Jadi, ini Menteri Keuangan harus benar-benar fokus di pajak ini.
Bagaimana tindak lanjut kerja sama antara BIN dan Ditjen Pajak (DJP) Kemenkeu?
Nah, oleh karena itu, salah satu kerja sama itu adalah untuk membantu DJP. Misalnya, sharing info BIN dan Kemenkeu sudah dilakukan. Itu juga DJP dan Ditjen Bea Cukai. Tapi untuk operasi kan harus disesuaikan dengan kesiapan dari teman-teman di DJP sendiri. Tapi, operasi intelijen pasti akan dilakukan tahun ini.
Apakah termasuk juga dukungan untuk operasionalisasi RUU Tax Amnesty, jika disahkan menjadi Undang-Undang?
Kalau tax amnesty, harus dilihat dulu isinya. Kalau isinya kurang tepat, bisa jadi bumerang. Dari dulu sikap saya konsisten, mendukung tax amnesty tetapi isinya harus benar. Misalnya begini, kalau kebijakan itu diarahkan untuk menarik uang di luar negeri ke dalam, itu omong kosong. Saya contohkan, kalau orang punya uang US$2 juta, ditaruh aman di Singapura, ngapain saya taruh di dalam negeri? Di Singapura tarif pajak lebih rendah kok. Sekali dihitung sudah selesai. Tarif PPh kan lebih rendah dari kita.
Lalu, kerahasiaan rekening saya di sana sangat terjaga. Apa alasan orang itu, yang duitnya sudah aman dan enak-enak di situ, harus dibawa ke Indonesia? Memang bunga di sana kecil, tapi kan kursnya relatif stabil. Kurs rupiah sekarang drop sekali, kalau ditaruh dalam rupiah. Rugi kita. Kalau ditaruh dalam dolar AS, ada margin sekitar 17% per tahun, belum bunga 1% atau 2%. Kalau rupiah, nilainya berkurang, bunganya tidak bisa mengejar depresiasi nilai tukarnya. Kalau diarahkan ke situ, lupakan saja.
Tetapi, tax amnesty bisa diarahkan adalah untuk memperluas basis pajak. Supaya mereka-mereka yang selama ini tidak tercatat di data perpajakan, supaya aset-aset yang ada di luar sistem perpajakan, bisa masuk ke sistem. Aset-aset di dalam negeri, contohnya, apartemen, properti, tanah. Itu bisa masuk. Bukan ke penerimaan sekali waktu tax amnesty diaktifkan. Sekali lagi, bukan untuk menarik duit di luar negeri.
Lalu, dengan segala situasi dan kondisi tersebut, apakah pembahasan APBNP 2016 perlu dipercepat, atau sesuai jadwal pemerintah pada akhir kuartal I?
Menurut saya, pembahasan RAPBNP memang perlu dipercepat akan lebih baik. Perubahan pertama tentu sisi pajak itu targetnya masih tidak realistis. Kondisi seperti itu, naiknya gila-gilaan ya tidak realistis. Targetnya harus realistis, dengan syarat harus meyakinkan DPR. Kalau perlu, saya bantu meyakinkan DPR. Daripada hanya pepesan kosong kan? Daripada di kertas itu targetnya besar, tapi ternyata realisasi jauh dari target, maka sebaiknya cari yang lebih ada isinya. Kalau di ekonomi repotnya, kalau pepesan kosong atau kalau bahasa anak muda PHP [Pemberi Harapan Palsu], efeknya jauh lebih besar dibandingkan yang realistis. Sebaiknya realistis meskipun tidak terlalu bagus.