Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia Iron dan Steel Industry Association (IISIA) menyatakan sejumlah produsen baja hilir mulai beralih menjadi trader seiring dengan lesunya permintaan pasar, sementara harga bahan baku di dalam negeri lebih tinggi dari impor.
Hidayat Triseputro, Direktur Eksekutif IISIA, mengatakan langkah tersebut ditempuh untuk mempertahankan bisnis menghadapi baja dari China yang tergolong unfair karena dijual lebih murah ke luar negeri serta diberikan tax rebate 13%-15%.
“Jika buat sendiri di dalam negeri tidak akan menang akibat harga listrik yang mahal, infrastruktur belum mendukung sementara harga kompetitor unfair. Tidak mungkin menghadapi barang dengan harga yang jauh di bawah cost produksi dalam negeri,” tuturnya Rabu, (4/11/2015).
Impor baja dari China tidak dapat dibendung akibat berlakunya kerja sama perdagangan bebas antara China dengan Asean yang memberlakukan bea masuk 0%. Dengan demikian, satu-satunya cara menjaga industri baja tetap tumbuh adalah memastikan serapan barang pada proyek yang didanai APBN dan APBD.
Saat ini, lanjutnya, utilitas produksi industri baja hulu berkisar 30%-40%, setali tiga uang utilitas industri hilir tersisa 50%. Dari total kebutuhan baja nasional sekitar 14 juta ton pada tahun ini, porsi penggunaan produk impor diperkirakan mencapai 40%.
Berdasarkan perkembangan terbaru, kapasitas produksi baja dalam negeri telah mencapai 16,15 juta ton pada tahun ini. Lebih rinci, total produksi tersebut terdiri dari produksi flat product sebesar 7 juta ton dan long product 9,15 juta ton.
Sejumlah industri baja dalam negeri terus menarik investor asing untuk mengisi kekosongan pasokan baja. Misalnya, PT Gunung Raja Paksi akan bekerja sama dengan Nanjing Iron & Steel Co., Ltd. serta grup Artha Graha Network bekerja sama dengan Taiwan mendirikan PT Artha Metal Sinergi dengan investasi sekitar US$6 miliar.
S. Hapsari, Ketua Asosiasi Pabrik Tower Indonesia (Aspatindo), mengatakan fakta di lapangan sejumlah produsen baja untuk tower, jembatan dan sejenisnya telah menjadi pedagang. Ketika impor bahan baku dilindungi oleh pemerintah, impor produk hilir justru tergolong bebas.
“Kami impor raw material diproteksi, sementara barang jadi bebas masuk. Apalagi produk hilir dari China diberikan tax rebate sebesar 15%. Akibatnya produsen hilir lebih memilih impor barang jadi ketimbang membuat sendiri,” tuturnya.
Selain itu, saat ini penjualan dalam negeri turun hingga 40%. Akibatnya, anggota Aspatindo banyak yang melakukan pemutusan hubungan kerja untuk menjaga perusahaan tetap hidup. Produsen baja berharap besar pengutamaan produk lokal dalam proyek transmisi listrik sepanjang 46.597 kilometer dalam lima tahun berjalan dengan efektif.
Berdasarkan perhitungan, pembuatan tower dalam proyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt ini membutuhkan 2 juta ton baja. Industri dalam negeri sangat siap mengerjakan proyek tersebut, mengingat kapasitas produksi Aspatindo mencapai 450.000 ton per tahun.