Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Perindustrian menyatakan tengah menghitung keuntungan dan kerugian yang diterima industri dalam negeri jika Indonesia menjalin kerja sama perdagangan bebas dengan Uni Eropa.
Achmad Sigit Dwiwahjono, Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional Kemenperin, mengatakan scoping paper yang diajukan Uni Eropa dengan pembebasan tarif sebesar 95% untuk FTA dapat mengganggu industri dalam negeri.
“Produk kita yang paling siap diekspor relatif hanya tekstil dan persepatuan, adapun lainnya bahan mentah seperti crude palm oil, karet dan sejenisnya. Sementara mereka mengincar pembebasan tarif untuk otomotif, elektronika dan produk teknologi tinggi lainnya,” tuturnya, Senin (19/10/2015).
Pihaknya menilai FTA dengan Uni Eropa berpotensi mengganggu industri dalam negeri secara keseluruhan. Pasalnya, porsi konsumsi domestik dalam produk domestik bruto mencapai 55%, adapun ekspor yang mencapai 20% didominasi oleh CPO, karet, tekstil dan persepatuan.
Selain besarnya permintaan pembebasan tarif, sejumlah persyaratan dari Uni Eropa masih sulit dipenuhi oleh pemerintah. Uni Eropa memasukkan intellectual property right, government procurement, animal welfare dan lainnya dalam persyaratan FTA.
Dalam hal ini, dibutuhkan koordinasi intensif antarkementerian dan lembaga pemerintah yang menaungi sejumlah persyaratan dari Uni Eropa. Kendati demikian, Kemenperin menilai permintaan pembebasan bea masuk hingga 95% pos tarif sangat memberatkan.
Saat ini, sejumlah negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia telah menjalin kerja sama perdagangan bebas baik dengan Uni Eropa maupun dalam bentuk Trans Pacific Partnership (TPP) yang dipimpin oleh Amerika Serikat.
Vietnam misalnya, membebaskan 99% pos tarif dalam FTA dengan Uni Eropa. Hal ini berpotensi menggerus nilai ekspor produk industri dalam negeri, mengingat bea masuk untuk sejumlah produk Indonesia ke Eropa mencapai 12%.
Kendati FTA dengan Uni Eropa dibutuhkan, Kemenperin masih mengkaji sejumlah kemungkinan lain agar industri dalam negeri dapat melebarkan ekspor ke Uni Eropa. Salah satunya, adalah menjalin FTA dengan negara yang terletak di Eropa tetapi tidak tergabung dalam Uni Eropa.
“Negara-negara itu seperti, Swiss, Norwegia, Islandia dan lainnya dapat dijadikan gerbang masuk produk Indonesia ke Uni Eropa. Pembahasan jalinan kerja sama sudah dimulai. Persyaratan dari negara-negara ini sama tingginya dengan Uni Eropa, tetapi neraca dagang bisa kita tekan,” katanya.
Chris Kanter, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Perdagangan dan Hubungan Internasional, mengatakan rencana FTA dengan negara di Eropa yang tidak bergabung dalam Uni Eropa tidak dapat menghapus hambatan yang diterima oleh industri dalam negeri.
“Misalnya mau menjalin FTA dengan Turki yang punya custom agreement hanya mampu mensiasati pembebasan tarif, tetapi untuk diekspor kembali ke negara lain masih berlaku regulasi larangan dari Uni Eropa,” tuturnya kepada Bisnis.
Jika menjalin FTA dengan Uni Eropa, maka Indonesia akan memiliki daya tawar yang tinggi sehingga dapat mendesak negara kawasan tersebut membuka sejumlah larangan impor dari Indonesia. Dengan demikian, ekspor Indonesia akan terdongkrak.
Terkait dengan scoping paper yang mencapai 95%, lanjutnya, Indonesia harus lebih fleksibel menentukan sikap dalam dokumen balasan. Pasalnya, kendati Uni Eropa meminta scoping paper hingga 95%, luasan kesepakatan tarif tergantung pada negosiasi.
“Masalahnya memang Parlemen Uni Eropa mensyaratkan Indonesia menyebutkan scoping paper yang diminta untuk menentukan layak atau tidaknya negosiasi FTA. Intinya Uni Eropa pasar yang penting, jangan lihat realisasi ekspor hari ini, tetapi lihat potensinya,” tuturnya.
Jika FTA dengan Uni Eropa tidak berlangsung dalam waktu dekat, lanjutnya, maka nilai ekspor Indonesia akan semakin tergerus seiring dengan FTA yang telah dilakukan oleh Vietnam dan Malaysia.