Bisnis.com, JAKARTA - Cukup jarang pemuda berusia 20 tahun memilih menjadi peternak kecuali terpaksa. Itulah yang menjadi alasan Warmo Sugandi ketika pada 1989 mulai menekuni peternakan sapi perah
Namun, kini pria asal Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang akrab disapa Amo ini menjadi contoh sukses seorang peternak. Kisah Amo bermula dari dua ekor sapi betina bunting yang dia pelihara sendiri. Sapi itu menghasilkan susu, juga beranak-pinak hingga kini sudah berjumlah 34 ekor.
“Sekarang saya punya dua kandang. Sebenarnya satu kandang hanya 12 ekor, tapi setelah dapat bantuan kandang dari Belanda pada 2009 satu kandang bisa menampung 19 ekor,” ujarnya.
Peternakan Amo pun semakin produktif. Selain sapinya bertambah banyak, teknik peternakan modern membuat sapi-sapinya lebih produktif menghasilkan laktasi. Kini, seekor sapi perah bisa memproduksi 17 liter susu per hari, meningkat dari sebelumnya yang cuma 13 liter. “Sekarang dalam sehari saya bisa menghasilkan paling tidak 250 liter susu.”
Dia memasok susu perahan ke Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan dengan imbalan rata-rata Rp4.700 per kilogram (1 liter susu sekitar 1,02 kg). Amo bisa membawa pulang duit sekitar Rp1,2 juta per hari.
Dalam sebulan, setidaknya dia bisa mengantongi Rp36 juta.“Kalau untuk biaya operasional bulanan saya keluar Rp17 juta. Sebagian besar habis untuk pakan, sisanya untuk bayar gaji dua karyawan,” tuturnya.
Menjadi peternak sapi perah juga pilihan pemuda Pangalengan lainnya, Aun Gunawan. Bedanya, ketika mulai beternak pada 1987, dia hanya meneruskan usaha sang ayah. Ketika itu, Aun sebenarnya sudah menyandang gelar sarjana ekonomi dari Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung.
Sang ayah adalah pendiri dari KPBS Pangalengan yang kini dipimpin olehnya. Aun pun lebih banyak menjalani aktivitas sebagai pengurus koperasi. “Saya punya 30 ekor sapi. Tapi saya tidak ngurus lagi karena fokus memberdayakan anggota,” ujarnya.
Aun merasa perlu fokus ke koperasi karena tidak semua anggota beruntung seperti dirinya dan Amo. Dari 4.000 anggota KBPS Pangalengan, sekitar 3.200 orang yang aktif. Masih banyak dari mereka yang hanya mempunyai satu hingga 2 ekor sapi dan belum sejahtera. “Kalau yang punya 5-10 ekor mah sudah bisa punya mobil. Tapi banyak juga yang kurang serius,” ujarnya.
RENTAN MURTAD
Peternak kategori kurang serius ini dinilai oleh Aun sangat rentan ‘murtad’ alias beralih profesi. Dia mengatakan peternak kerap didatangi makelar yang ingin membeli sapi. Bila ini terjadi maka tim penyuluh koperasi berusaha mencegah agar peternak tidak termakan bujuk rayu itu.
“Tapi jual atau tidak kan terserah peternak. Kami hanya mengingatkan, mereka yang menjual sapi menyesal karena waktu akan balik jadi peternak lagi bibit sapi sudah sulit dan mahal,” ucapnya.
Pencerahan kepada anggota, kata Aun, adalah salah satu kegiatan KBPS. Para anggota juga diajari untuk meningkatkan produktivitas melalui bimbingan teknik pemeliharaan, pemilihan pakan, hingga konsentrat. Bermacam kerja sama pun dijajaki, termasuk dengan industri pengolahan susu (IPS).
Saat ini, KBPS Pangalengan menjadi pemasok susu untuk dua IPS besar yakni PT Frisian Flag Indonesia (FFI) dan PT Ultrajaya Milk Industry Tbk. “Kami memasok 50% untuk FFI, 40% buat Ultrajaya, dan sisanya oleh kami sendiri,” kata Aun.
Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai negara asal FFI misalnya menggelar program farmer to farmer dalam bentuk trans-fer ilmu peternak Negeri Kincir Angin kepada petani lokal. Sementara itu Ultrajaya pernah membantu perbaikan kandang dan mendatangkan 400 bibit sapi perah dari Australia.
Direktur Hubungan Korporat FFI Sri Megawati mengatakan KBPS Pangalengan merupakan salah satu dari 15 koperasi sapi yang memasok bahan baku ke pabrik pengolahan perusahaan di Ciracas dan Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Sebagai bukti pentingnya daerah itu, FFI menjadikan Pangalengan sebagai tempat pertama peluncuran program Milk Collection Point (MCP) digital di Indonesia. MCP merupakan proses pengumpulan susu sapi dari para peternak.
MCP yang digelar di Pangalengan dilengkapi dengan teknologi pendingin yang sudah terintegrasi dengan komputerisasi berbasis barcode. Sistem anyar ini diklaim dapat menekan jumlah kandungan bakteri (total plate count /TPC) susu sapi sampai 90% sehingga meningkatkan kualitas dan harga susu.
Para peternak diajari menekan TPC rendah dengan pemakaian alat foremilk, filter, handuk, kaleng susu, dan keranjang. Mereka pun dapat langsung mengakses data-data analisa dan transaksi via barcode sehingga akan lebih disiplin menekan bakteri. “MCP Pangalengan menelan investasi Rp3 miliar. Dana berasal dari patungan Pemerintah Belanda dengan kami,” kata Mega, sapaan Sri Megawati.
Perempuan yang sangat populer di kalangan peternak Pangalengan ini mengklaim program dari FFI semata-mata untuk memberdayakan peternak. Pasalnya, Frisian Flag sebagaimana pula induk usahanya, Royal Freisland Campina NV, tidak punya peternakan sendiri untuk memasok bahan baku. “Jiwa kami memang seperti ini. Kalau kami bangun peternakan sendiri kesannya kok serakah ya?” tuturnya.
Selain produktivitas yang masih di bawah standar (belasan liter sedangkan negara maju 20-an liter), menurut Mega, tantangan terbesar peternakan sapi perah di Indonesia adalah regenerasi. Saat ini, peternak umumnya sudah berusia tua, sedangkan generasi muda enggan berkecimpung di bidang itu.
“Kami ingin agar orang muda tertarik jadi peternak. Nah, orang tertarik kan kalau menguntungkan. Bila peternak produktif dan susu mereka berkualitas, harga jual lebih tinggi dan pendapat lebih besar,” ujarnya.
Aun Gunawan mengatakan sejak program MCP Pangalengan dimulai, harga yang diterima peternak melonjak dari sebelumnya Rp4.300/kg menjadi Rp4.700-Rp4.900 per kg, lebih tinggi dibandingkan di Lembang. Karena itu, dia berambisi membangun tiga MCP lagi di Warnasari, Cipanas, dan Cinere. Dia meyakini, jika program ini berjalan maka produktivitas dan pendapatan peternak bisa meningkat hingga 30%.
DUKUNGAN PEMERINTAH
Namun, dia berharap agar pemerintah juga turun tangan untuk pemberdayaan peternak, tidak hanya swasta. Saat ini, imbuh dia, peternak masih terkendala infrastruktur listrik, jalan, dan lahan rumput, hingga akses perbankan.
“Saya mah gandeng semua IPS asal menguntungkan peternak. Tapi dukungan Kementerian Pertanian dan pemerintah daerah masih kurang,” ujar pria yang juga Wakil Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Jawa Barat ini.
Sementara itu, Amo berujar selama ini bantuan pemerintah masih berupa penyediaan alat potong rumput dan tempat penyimpanan konsentrat. Namun, kebijakan pemerintah sendiri baik langsung atau tidak merugikan petani. Salah satu contohnya adalah izin alih fungsi lahan rumput menjadi kawasan hutan produksi dan perkebunan.
Amo meminta agar kebijakan swasembada daging sapi tidak dipaksakan bila Indonesia belum siap. Pasalnya, peternak mau tidak mau harus mengorbankan sapi perahnya dipotong untuk menambah pasokan daging.
Sekarang harga sapi bibit itu sudah Rp20 juta. Jadi mereka yang dulu sudah menjual dan ingin kembali beternak tidak punya uang,” tuturnya. Amo sendiri berhasil bertahan dari beberapa periode sulit dan kini menjadi peternak teladan. Karena itu, dia yang sudah mengecap manisnya usaha itu berharap anggota KPBS bisa merasakan yang sama.
Dari hasil kerja kerasnya Amo dengan sedikit low profile mengaku telah memiliki beberapa rumah dan mobil. “Saya bermimpi mau nambah istri juga,” katanya lantas terkekeh. “Kalau istri pertama mengizinkan.”
Namun, Sri Megawati sebagai rekan bisnis maupun sahabat mewanti-wanti Amo agar mengurungkan niat itu. Mega menegaskan berbagai program FFI tidak hanya bertujuan meningkatkan taraf ekonomi, tetapi juga membawa misi keadilan jender.
“Enggak boleh! Proyek kami untuk menambah sapi bukan menambah istri. Pokoknya tidak boleh!” katanya serius. Amo sendiri langsung tertawa lebar mendengar omelan dari Mega dan menanggapinya dengan santai, “Cuma mimpi kok, Bu!”