Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Nicolas Mandey mengatakan dengan revisi pertumbuhan ekonomi oleh Bank Indonesia menjadi 5,2%, maka akan ada pemulihan di sektor ritel setelah mengalami kinerja yang cukup buruk di kuartal satu dan kuartal dua.
Tahun ini, omset sektor ritel diproyeksikan tergerus. Pertumbuhan pendapatan ritel yang biasanya berkisar antara 13%-15% atau 3 kali lipat dari pertumbuhan ekonomi, pada tahun ini direvisi hanya menjadi 8% saja hingga akhir tahun. Namun, jika proyeksi pertumbuhan ekonomi benar-benar mencapai 5,2%, maka pertumbuhan ritel akan lebih tinggi.
“Mudah-mudahan 10% tercapai," kata Roy.
Optimisme tersebut juga didukung dengan mulai meningkatnya penyerapan anggaran pemerintah yang sebelumnya sempat tersendat.
Menurut Roy, penyerapan anggaran tersebut sangat diperlukan sebagai penggerak produktifitas ekonomi masyarakat. Dengan demikian, maka akan ada peningkatan konsumsi di sektor ritel.
“Kita tahu bahwa 55% PDB itu masih diperoleh dari konsumsi masyarakat, bukan konsumsi pemerintah. Oleh karena konsumsi pemerintah juga harus ditingkatkan. Penyerapan ini harus memang harus cepat.”
Di sisi lain, menurutnya pemerintah juga harus memperhatikan fluktuasi dolar. Apresiasi dolar sebesar 2%-3% dalam satu minggu akan sangat berdampak besar, karena setiap satu persen apresiasi dolar akan mempengaruhi cost of goods sold (COGS) di peritel pada bulan berikutnya antara 2,5% - 5%.
Oleh sebab itu, konstabilitas dari fluktuasi tersebut harus benar-benar dijaga.
Terlebih lagi, dengan pernyataan dari the Fed yang ingin menaikkan suku bunganya pada akhir tahun ini. Jika langkah tersebut dilakukan, maka dolar akan semakin menguat.
Roy mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk menahan BI rate sebesar 7.5%.
Namun, jika suku bunga tersebut bisa diturunkan, akan menjadi stimulus yang menarik bagi masyarakat, maupun bagi peritel untuk melakukan ekspansi.