Bisnis.com, JAKARTA—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan didorong untuk merevisi Peraturan Pemerintah No.72/2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara lantaran tidak dilengkapi oleh peta wilayah kerja dan membuat ruang gerak pengelolaan hutan oleh rakyat menjadi sempit.
Direktur Policy Development Samdhana Institute Martua Sirait menuturkan beleid tersebut memberikan keleluasaan kepada Perhutani untuk mengelola seluruh kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Pulau Jawa. Namun, PP tersebut tidak memuat peta kerja perusahaan plat merah ini, sehingga kerap terjadi gesekan antara perusahaan dengan masyarakat.
"Kawasan hutan kan banyak berubah. Ada yang wilayahnya masih dalam proses tukar menukar dan pinjam pakai. Jadi perlu diperjelas mana yang masuk wilayah pengelolaan Perhutani dan mana yang tidak, caranya dengan melampirkan peta," katanya di sela seminar Pemetaan Masalah Kawasan Perdesaan, Selasa (12/5).
Menurutnya, selama ini peta wilayah kerja disusun oleh Perhutani lantas diserahkan kepada pemerintah. Padahal, Perhutani merupakan BUMN kehutanan, bukan sekaligus berperan sebagai regulator seperti pada masa pemerintahan Hindia Belanda ketika bernama Djawatan Kehutanan.
"Tidak bisa begitu, pemerintah yang harus memberikan wilayah kerja kehutanan kepada pengelola. Regulator ke pengelola, bukan sebaliknya," tegasnya.
Selain itu, urgensi untuk merevisi PP No.72/2010 juga didorong oleh kekosongan aturan mengenai penyelesaian konflik agraria dalam beleid tersebut. Padahal, hal tersebut harus diatur dengan jelas.
"Jadi saat terjadi konflik lahan, bisa diambil posisi sebagai perusahaan atau pemerintah dalam bentuk BUMN. Kita mau masuk ke good governance di sisi pemerintah dan good corporate governance di sisi Perhutani," tuturnya.
Dengan diaturnya mekanisme penyelesaian konflik, lanjut Martua, kasus kriminalisasi terhadap masyarakat, seperti yang terjadi pada nenek Asyani diharapkan tidak lagi terulang. Apalagi, Presiden Joko Widodo tengah mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat melalui penetapan hutan desa dengan target seluas 2 juta hektare di seluruh Indonesia.
"Banyak sekali desa-desa yang mengelola hutannya dengan baik. Contoh DIY, hutan rakyat di sana bagus sekali, bahkan punya sertifikat FSC. Bandingkan dengan Perum Perhutani baru berapa wilayah yang dapat FSC?" lanjutnya.
Revisi PP No.72/2010 yang mengakomodir kesempatan rakyat mengelola hutan untuk kebutuhan pokok dan pangan melalui penetapan hutan desa diharapkan dapat membagi porsi pemanfaatan hutan, baik untuk BUMN maupun rakyat.