Bisnis.com, JAKARTA--PT Tuban Petrochemical Industries (TubanPetro) menghimbau agar kasus dugaan korupsi dan atau pencucian uang tidak mematikan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
TubanPetro merupakan pemilik sebagian saham TPPI. Direktur TubanPetro Riki F. Ibrahim menyerahkan proses hukum kepada pihak yang berwenang. Namun, katanya, jangan sampai TPPI tidak beroperasi selamanya karena kasus dugaan korupsi yang telah terjadi lima tahun silam.
Menurutnya, saat ini aset TPPI telah menjadi milik pemerintah. Di saat Indonesia mengalami kesulitan membangun kilang sehingga harus mengimpor bahan bakar minyak (BBM) berkadar oktan 92, tambahnya, TPPI jangan sampai dimatikan dan menjadi besi tua.
Dia menjelaskan pemerintah masih bisa menggunakan TPPI sebagai pengurang impor BBM RON 92 dengan mengoperasikan kilang tersebut. "Silakan diadili oknum yg bermasalah tapi TPPI jangan dimatikan juga," katanya di Jakarta, Rabu (6/5).
TPPI sendiri memiliki utang yang menggunung sehingga berhenti beroperasi sejak Desember 2011. Kilang tersebut beroperasi kembali per 1 November 2013 melalui kerja sama berskema tolling dengan PT Pertamina (Persero).
Sayangnya, produksi hanya berlangsung beberapa bulan, kemudian berhenti kembali hingga sekarang.
Riki menyampaikan perusahaan tengah bernegosiasi dengan investor agar TPPI kembali beroperasi dengan skema tolling. "Sekarang sedang persiapan blending, kemungkinan Juni mulai, tergantung investor," tambahnya.
Seperti diketahui, Badan Reserse Kriminal (Bareksrim) Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menggeledah kantor TPPI di Mid Plaza dan kantor Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada Selasa (5/6).
Penggeledahan terkait dengan kasus dugaan korupsi dan atau pencucian uang dalam jual beli kondensat bagian negara kepada TPPI sepanjang 2009 hingga 2010. Kondensat merupakan minyak mentah ikutan dari sumur yang produksi utamanya berupa gas.
Berdasarkan siaran pers yang diterima Bisnis, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) melakukan penunjukan langsung penjualan kondensat bagian negara dengan tidak menjalankan proses sesuai ketentuan. Negara diperkirakan mengalami kerugian hingga US$156 juta atau sekitar Rp2 triliun.