Bisnis.com, JAKARTA - Pusat Kebijakan Publik (Puskepi) mempersoalkan terbitnya Maklumat Pelayaran (Mapel) Dirjen Hubla Kemenhub soal pungutan PNBP terhadap pengawasan barang berbahaya termasuk bahan bakar minyak (BBM), bahan kimia dan sejenisnya.
Direktur Puskepi Sofyano Zakaria menyatakan Presiden RI Joko Widodo tetap harus mencabut atau merevisi PP 11/2015, bukan justru Kemenhub menerbitkan Maklumat Pelayaran (Mapel) untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha angkutan laut.
"Harusnya dengan merevisi PP 11/2015 oleh Presiden bukan justru membuat aturan Menteri Perhubungan, apalagi sekedar Maklumat Pelayaran (Mapel). Jadi tetap PP 11/2015-nya harus di revisi dan jika ditunda harus dengan PP yg ditandatangani Presiden juga. Tidak boleh menteri," ujarnya kepada Bisnis.com,hari ini, Jumat (10/4/2015).
Sofyano mengatakan hal itu merespons terbitnya Mapel Dirjen Hubla soal pungutan PNBP barang berbahaya sebagai petunjuk sementara implementasi PP No: 11/2015.
Pada 2 April 2015, Kemenhub mengeluarkan Mapel Dirjen Hubla Bobby R.Mamahit No:22/PHBL yang ditujukan kepada seluruh Kantor Syahbandar, Otoritas Pelabuhan, dan Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) di seluruh Pelabuhan Indonesia.
Mapel itu sebagai petunjuk sementara dilapangan agar penarikan PNBP dilingkungan Kemenhub dapat berjalan dengan tertib sambil menunggu aturan tehnis (Permenhub)-nya pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No:11/2015 tentang Jenis dan tarif atas pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku di Kementerian Perhubungan.
Maklumat Pelayaran itu menegaskan pungutan PNBP terhadap pengawasan barang berbahaya termasuk bahan bakar minyak (BBM), bahan kimia dan sejenisnya dalam bentuk curah hanya dikenakan sebesar Rp.10 perton/muatan, sedangkan pengawasan bongkar muat pengangkutan BBM dikenakan PNBP sebesar Rp.50.000/kapal.
Menurut Sofyano, sangat tidak relevan langkah Kemenhub yang menerbitkan Mapel Dirjen Hubla tersebut sebagai rujukan meskipun sifatnya sementara terhadap implementasi PP 11/2015.
"Mapel bersifat internal di Ditjen Hubla, dan tidak punya kekuatan hukum. Jadi demi kepastian usaha PP 11/2015 tetap harus dicabut atau direvisi oleh Presiden," ujar Sofyano yang juga menjabat Sekjen Asosiasi Penyalur Bahan Bakar Minyak Indonesia (APBBMI) itu.(K1)