Bisnis.com, JAKARTA- Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Eddy Susanto mengatakan pengelola rumah makan mendukung penerapan sertifikasi halal oleh pemerintah.
Kendati demikian, dia tak menampik ada beberapa kendala yang dihadapi pengusaha.
"Kendala utama yang dihadapi pengelola restoran adalah bahan baku. Meski proses produksi sudah menerapkan kaidah yang ditentukan, beberapa bahan baku yang digunakan mengandung bahan non-halal sehingga tak diterima oleh MUI," ujarnya kepada Bisnis, Senin (9/3).
Dia memaparkan jenis rumah makan yang belum bisa mendapat sertifikasi halal, misalnya restoran atau kafe yang mengusung konsep fine dining, restoran ala Jepang, dan rumah makan yang menghidangkan menu-menu masakan China (Chinese Food).
Sementara itu, Eddy menuturkan restoran cepat saji dari luar negeri biasanya sudah mengikuti kaidah halal karena pemilik lisensi di negara asal telah mempelajari kebutuhan konsumen Indonesia.
"Restoran siap saji asing yang ada di Indonesia paling siap [menerapkan sertifikasi halal]. Jalur distribusi dan pemasok mereka juga mudah diaudit," imbuh Eddy.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim mengatakan sertifikasi halal tidak sekadar terkait pada aspek keagamaan, tetapi menjaga kualitas penjagaan mutu dan memberikan kepastian bagi konsumen.
"Dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, Indonesia sudah pasti menjadi pasar produk halal paling potensial. Kalau pelaku usaha lokal tak buru-buru bergerak, pangsa pasar kita akan diambil oleh negara lain misalnya Malaysia, Singapura, atau Thailand," katanya.
Berdasarkan data LPPOM MUI, saat ini rumah makan yang telah mengantongi sertifikasi halal mencapai 437 restoran dengan total 3259 gerai yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
Jenis restoran yang mendaftarkan sertifikasi halal bervariasi, mulai dari restoran cepat saji (fast food), restoran berkonsep modern, hingga rumah makan yang mengusung menu daerah.