Bisnis.com, JAKARTA -- Inflasi inti Indonesia bertahan mendekati 5% sekalipun inflasi umum berangsur turun, sejalan dengan perlemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.
Badan Pusat Statistik mencatat inflasi inti (core inflation) Februari 4,96% (year on year), sedikit melemah dari laju bulan sebelumnya 4,99%. Angka itu bahkan naik dari posisi tahun lalu 4,93% ketika inflasi umum 8,36%.
Adapun selama dua bulan terakhir, inflasi umum telah melemah menjadi 6,96% pada Januari dan terus melandai ke posisi 6,29% pada bulan berikutnya, seiring terkikisnya dampak kenaikan harga BBM November yang disusul penurunan harga Januari.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menyebutkan depresiasi rupiah paling berperan membentuk inflasi inti yang relatif konstan sejak 2013, di samping suku bunga tinggi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi.
"Nilai tukar valas melemah, makanya inflasi inti bertengger tinggi," katanya saat dihubungi, Selasa (3/2/2015).
Sejak taper tantrum 2013, rupiah melemah meninggalkan level Rp9.000 per dolar AS. Adapun saat ini, rupiah bergerak mendekati Rp13.000 per dolar AS atau jatuh hampir 5% sejak awal tahun.
Depresiasi rupiah mengerek harga barang-barang impor atau disebut imported inflation.
Inflasi inti sesungguhnya menggambarkan tren pergerakan inflasi jangka panjang, yang cenderung menetap atau persisten.
Di Indonesia, inflasi ini dihitung dengan mengeluarkan komponen harga bergejolak yang bersumber dari kebijakan (administered price) ataupun komoditas pangan yang berfluktuasi tajam (volatile food).
Inflasi inti lebih dipengaruhi faktor fundamental, yakni interaksi permintaan dan penawaran, lingkungan eksternal, seperti nilai tukar, harga komoditas internasional, dan inflasi mitra dagang, serta ekspektasi inflasi oleh pedagang dan konsumen.
Inflasi inti dalam beberapa kesempatan menjadi acuan Bank Indonesia untuk mengambil kebijakan moneter karena dianggap memberikan sinyal yang lebih tepat ketimbang inflasi umum.