Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pakar Pajak: Presiden Harus Segera Eksekusi Wacana DJP 'Plus'

Kendati KemenPAN-RB belum sepakat dengan rencana perubahan struktur birokrasi yang akan diterapkan di Ditjen Pajak (DJP) lewat skema DJP Plus, Presiden Joko Widodo diminta untuk segera mengeksekusi wacana yang telah bergulir beberapa tahun itu.
Badan otoritas harus kuat. /Bisnis.com
Badan otoritas harus kuat. /Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA – Kendati Kementerian PAN-RB belum sepakat dengan rencana perubahan struktur birokrasi yang akan diterapkan di Ditjen Pajak (DJP) lewat skema DJP ‘Plus’, Presiden Joko Widodo diminta untuk segera mengeksekusi wacana yang telah bergulir beberapa tahun itu.

Pakar perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam menilai perubahan struktur kelembagaan menuju semi-autonomous revenue authority (SARA) itu bersifat mendesak dan bukan lagi saatnya untuk memperdebatkan konsep itu dari awal kembali.

“Tidak usah ditunda-tunda lagi, segera. Jangan bermain dengan waktu lagi, target pajak 2015 ini luar biasa kenaikannya. Dengan reformasi kelembagaan saja target pajak belum tentu tercapai karena masa transisi, apalagi begini-begini saja, potensi shortfall justru lebar,” ujarnya, Rabu (4/2/2015)

Dengan model SARA, lanjutnya, salah satu yang muncul yakni deskresi anggaran. Mencontoh di Singapura, ada sekitar 1,65% dari penerimaan pajak yang masuk ke DJP. Begitu pula dengan Peru yang bahkan mengenakan 2%.

Selain fleksibilitas anggaran, penguatan kelembagaan lewat perombakan struktur juga menimbulkan fleksibilitas sumber daya manusia (SDM) maupun remunerasi. Pemerintah harus aware saat ini para pegawai pajak mengalami demotivasi.

Seperti diberitakan sebelumnya, Menteri PAN-RB Yuddy Chrisnandi mengatakan konsep ideal penguatan DJP sebenarnya hanya perlu dua aspek, yakni penambahan Sumber Daya Manusia (SDM) dan peningkatan sistem IT tanpa harus melakukan perubahan struktur organisasi.

Menurutnya, saat ini yang dibutuhkan DJP yakni penambahan SDM yang mempunyai integritas dan profesional. Yuddy mengaku Kemenkeu telah meminta sekitar 12.000 tambahan pegawai, petugas lapangan yang mengumpulkan pajak. Langkah ini akan didukung.

Penentuan seleksi pegawai tersebut, lanjutnya, tetap berada di KemenPAN-RB karena Kemenkeu tidak bisa mengeksekusi sendirian. Namun, Kemenkeu sebagai penyelanggara teknis tetap bisa mengajukan kriteria-kriteria yang dibutuhkan.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai kebutuhan terkait dengan SDM bukan semata-mata pada perekrutan layaknya pegawai pajak terdahulu yang ‘tunduk’ pada KemenPAN-RB.

Menurutnya, fleksibilitas terkait SDM bukan semata-mata pada penambahan pegawai tapi juga perubahan sistem perlakuan yang bisa dilakukan untuk menstimulus kinerja. Kondisi itu, pada gilirannya akan membantu pendorongan peneriamaan pajak.

Perlakuan yang dimaksud salah satunya yakni bagaimana DJP bisa dengan cepat memberhentikan pegawai yang tidak menunjukkan kinerja yang maksimal. Kewenangan seperti itu, sambunya, sudah menjadi tren internasional sesuai riset OECD 2013.

“Jika tunduk pada UU ASN, dikhawatirkan tidak bisa mengikuti dinamika perpajakan dan institusi perpajakan. Mandat RPJMN dan janji Presiden Jokowi, otonomi DJP akan dilakukan. By default itu prasyarat yang niscaya,” kata dia.

Tambahan jabatan Deputi Dirjen pun juga dinilai penting karena span of control DJP terlalu luas dengan adanya 49 eselon II serta banyaknya fungsi dan luasnya cakupan wilayah. Dia menegaskan, DJP ‘Plus’ ini hanya solusi sementara dan target antara hingga SARA definitelyterbentuk.

Sebelumnya, Menkeu Bambang Brodjonegoro menegaskan tiga calon Dirjen Pajak pilihan Menkeu yang tidak dipilih Presiden Joko Widodo dipastikan akan ditawari jabatan strategis setara dengan Eselon Ib sesuai dengan perubahan struktur organisasi, penguatan DJP lewat skema DJP ‘Plus’.

Dia mengatakan pihaknya masih menunggu keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) untuk melakukan langkah pencalonan tiga nama tersebut menduduki posisi Deputi Dirjen Pajak. “Ya kita arahkan ke sana [menjabat posisi Deputi Dirjen Pajak],” ujar dia.

Bambang mengatakan penunjukkan deputi tersebut salah satunya juga faktor penggenjotan penerimaan yang tinggi. Apalagi, dalam catatan Bisnis.com, 6 tahun terakhir, shortfall – selisih antara realisasi dari target – terus terjadi, bahkan tahun lalu mencatatkan rekor tertinggi.

Peneliti Kebijakan Ekonomi Perkumpulan Prakarsa Wiko Saputra mengatakan pemerintah juga perlu mematangkan penataan kelembagaan perpajakan. Roadmap terkait pembentukan SARA harus tetap ada seiring dengan penguatan wewenang lewat DJP ‘Plus’ nantinya.

“Itu tidak cukup, butuh roadmap yang jelas. Badan otoritas harus kuat. Itulah solusi yang lebih baik,” kata dia.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper