Bisnis.com, JAKARTA—Rencana pemerintah untuk mengutip pajak penjualan barang mewah (PPnBM) terhadap sejumlah barang konsumsi ritel menuai kritik.
Langkah ini dinilai sebagai bentuk ketidakmampuan pemerintah untuk mengail penerimaan pajak dari sektor yang lebih besar potensi pajaknya.
Pengamat perpajakan dan keuangan negara Universitas Pelita Harapan (UPH) Rony Bako menuturkan kebijakan tersebut berpotensi membuat masyarakat resah karena jenis barang yang dianggap mewah nantinya bisa diperdebatkan.
“Kebijakan ini terlalu mengada-ngada. Harga barang nantinya nggak jelas, bisa naik tiba-tiba karena pedagang memasukkan tambahan pajak ke harga jual barang. Ini bisa memberatkan industri dan menyebabkan inflasi,” kata Rony, Senin (26/1/2015).
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih mengutamakan pengejaran pajak-pajak besar, kasus-kasus pajak, aksi transfer pricing, carut-marut restitusi, hingga perbaikan regulasi, guna meraih penerimaan pajak lebih besar, ketimbang mengurusi perluasan pengenaan PPnBM.
“Nggak layak lah batu akik Rp1 juta masuk barang mewah. Penerimaan yang didapat tak sebanding dengan upayanya,” ujarnya.
Sementara itu, ahli perpajakan dan guru besar Universitas Indonesia Gunadi menilai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan diyakini tak mampu melakukan pengawasan dengan baik seiring dengan makin banyaknya jenis objek pajak baru.
Hal itu disebabkan sumber daya pegawai pajak masih kurang. “Kalau mobil, pesawat terbang oke lah dikenakan, tetapi sepatu, tas, emas, arloji, HP, sampai batu akik dikenakan PPnBM? Itu siapa yang mau mengawasi? Semakin banyak objek pajak, maka semakin sulit mengawasinya,” tegasnya.