Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Berharap Perbankan Tidak Reaktif

Pengusaha berharap perbankan nasional tidak reaktif ikut mengerek bunga pinjaman menyusul tambahan dosis pengetatan moneter yang dilakukan Bank Indonesia sebagai respons kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.
Rupiah/Bisnis
Rupiah/Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA – Pengusaha berharap perbankan nasional tidak reaktif ikut mengerek bunga pinjaman menyusul tambahan dosis pengetatan moneter yang dilakukan Bank Indonesia sebagai respons kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto mengatakan jika kenaikan BI Rate 25 basis poin menjadi 7,75% langsung diikuti dengan penaikan suku bunga pinjaman bank swasta akan membuat industri semakin lesu.

“Kenaikan BI Rate mudah-mudahan tidak serta merta diikuti kenaikan bunga bank yang lain,” ujarnya di sela-sela sebuah diskusi belum lama ini.

Menurutnya, pengetatan moneter yang selama ini sudah terjadi sudah membuat utang luar negeri swasta cenderung meningkat. Menurutnya, kondisi tersebut tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena bunga pinjaman di luar negeri lebih rendah dari pada bunga dalam negeri.

Menilik data Bank Indonesia, posisi utang luar negeri dari sektor swasta memang cenderung mengalami tren peningkatan. Pada 2010, posisi utang luar negeri swasta berada di level US$83,8 miliar. Tak tanggung-tanggung, pada September 2014, posisi tersebut sudah melesat jauh di level US$159,3 miliar.

Tingginya utang luar negeri, sambungnya, menyebabkan tekanan pada nilai tukar rupiah, menguras cadangan devisa, dan juga membebani fiskal dari sisi defisit APBN.

Suryo mengatakan kondisi tersebut menjadi ironi tersendiri bagi Indonesia karena negara ini belum secara optimal menggalang sumber pendanaan di dalam negeri – termasuk dari sisi perpajakan –, sementara belakangan ada dorongan agar masyarakat ‘bergaul’ dengan pasar saham dalam negeri.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi. Menurutnya, apabila respon pengerekan suku bunga pinjaman dilakukan bank swasta, sektor manufaktur akan semakin terpukul.

Karena industri manufaktur di Tanah Air sangat bergantung pada bahan baku impor, termasuk manufaktur yang berorientasi ekspor, kondisi itu membuat industri ikut terpukul.

Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) impor bahan baku sepanjang Januari-September turun 3,8%,  jatuh untuk pertama kalinya sejak 2010. Impor bahan baku/penolong dalam sembilan bulan terakhir hanya US$102,8 miliar, turun dari realisasi periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$106,8 miliar.

Impor barang modal pun melanjutkan penurunan sebesar  6,9% setelah tahun lalu anjlok 16,9% menjadi US$23,7 miliar.Pada saat yang sama, kinerja industri pengolahan kuartal III/2014 melambat dengan pertumbuhan hanya mendekati 5%. Setahun lalu, manufaktur melesat 6,8%.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Rustam Agus
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper