Bisnis.com, JAKARTA – Sejalan dengan rencana pemangkasan target setoran dividen BUMN senilai Rp1,5 triliun dari target awal di APBN 2015 Rp43,73 triliun, pemerintah akan menambal kekurangan pendapatan negara dengan penggenjotan penerimaan pajak.
Menko Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan ketergantungan pemerintah pada setoran dividen perusahaan pelat merah selama ini dikarenakan masih banyaknya wajib pajak yang tidak patuh membayar pajak sehingga target penerimaan dari pajak pun selalu meleset dari target.
“Kita upayakan dividen BUMN yang reasonable, tapi kemudian subsektor orang yang tidak bayar pajak harus kita kejar. Banyak Perusahaan yang sudah bertahun-tahun melaporkan rugi. Itu masak rugi jalan terus,” ujarnya.
Menurutnya, dengan adanya reformasi perpajakan, termasuk jumlah karyawan pajak, pada gilirannya akan memicu penambahan pendapatan negara. Kondisi itulah yang akhirnya mmbuat tekanan untuk pengambilan dividen berkurang sehingga BUMN bisa melakukan ekspansi.
Target penerimaan pajak tahun depan, sambungnya, bisa lebih tinggi dari target yang sudah ada dalam APBN 2015 senilai Rp1.201,7 triliun. Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Keuangan menaikkan penerimaan pajak tahun depan hingga Rp600 triliun dengan mengubah APBNP 2015. Merespons permintaan ini, otoritas fiskal menawarnya menjadi Rp400 triliun. (Bisnis, 21/11).
Sayangnya, berdasarkan catatan Bisnis, dalam delapan tahun terakhir, rata-rata kenaikan realisasi penerimaan pajak hanya Rp81,12 triliun. Bahkan, kenaikan penerimaan pajak hingga Rp100 triliun hanya terjadi sebanyak dua kali, yakni 2008 sebesar Rp113 triliun, dan 2011 sebesar Rp101 triliun.
Mendapat mandate Presiden, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro akan meninjau kembali langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk memperkuat Ditjen Pajak. Tidak cukup sampai di sana, menurutnya, kajian juga menilik apakah semua langkah bisa dilakukan tahun depan.
“Kayak tambah pegawai. Kita buka katakanlah paling cepet akhir tahun ini, enggak gampang dapat 5.000-10.000 orang yg qualified,” ungkapnya.
Selain itu, perlu juga adanya tambahan anggaran operasional pajak untuk tekonogi informasi yang mampu memperluasi akses data. Sejalan dengan itu, sambungnya, perlu adanya pembenahan beberapa peraturan yang terkadang mampu mengurangi potensi transfer pricing dan potensi penyimpangan pajak lainnya dari wajib pajak.
Peluang penggenjotan sektor penerimaan pajak, lanjutnya, dapat dihasilkan dari peninjauan kembali tax treaty atau persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Menurutnya perjanjian tersebut selama ini cenderung merugikan negara khususnya terkait penerimaan pajak.
Sekadar informasi, tax treaty atau P3B adalah perjanjian perpajakan antara dua negara untuk meminimalisir perpajakan berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk dua negara sebagai penentuan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara mereka.
“Makanya saya lagi mikir apakah perlu moratorium dari tax treaty atau mereview kembali tax treaty yang ada. Soal Mauritius misalnya, perusahaan akhirnya memindahkan pajaknya ke Mauritius meskipun operasinya di India,” ungkapnya.
Bambang mengungkapkan hingga saat ini, Indonesia telah melakukan kerja sama tax treaty dengan 62 negara. Sayangnya, mantan wamenkeu ini belum bisa menjelaskan lebih negara mana yang akan dikenai peninjauan kembali tax treaty. Dirinya hanya menegaskan akan melakukan peninjauan secara menyeluruh.
“Pokoknya dengan semua negara lah. Itu yang mesti dilihat apakah kita perlu punya tax treaty sebanyak itu. Tapi intinya banyak yang tidak cocok karena itu hanya untuk pelarian pajak,” tegas dia.
Pemerintah juga akan menggenjot penerimaan pajak dari jenis pajak badan maupun pajak orang pribadi. Di depan para pengusaha yang tergabung dalam Kadin, akhir pekan lalu Bambang meminta agar ada kepatuhan wajib pajak baik badan maupun perorangan.
Dia mencontohkan banyaknya perusahaan yang mengklaim rugi agar tidak membayar pajak seusai prosedur yang ada. Padahal, sambungnya, perusahaan tersebut selalu ekspansi dengan membuat anak perusahaan.
“Perlu perbaikan pada sistem informasi, akses data, dan tentunya juga butuh kesadaran badan maupun perorangan,” kata dia.