Bisnis.com, JAKARTA—Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Permenpera No.7 Tahun 2013 dinilai tidak dapat dijadikan acuan tindak pelaporan Menpera Djan Faridz terhadap 291 pengembang tentang hunian berimbang.
Mantan Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa menyatakan kekecewaannya terhadap aturan tersebut dan mempertanyakan tindakan pelaporan yang dilayangkan ke Kejaksaan dan Kepolisian pertengahan Juni lalu.
“Permenpera itu tidak ada tindak pidananya dan tidak bisa mempindanakan orang. Ini yang membuat aturan siapa?” katanya saat ditemui Bisnis di Jakarta, Sabtu (12/7/2014).
Suharso juga mengungkapkan isi aturan hunian berimbang 1:2:3 tidak seharusnya dalam satu hamparan. Hal tersebut harusnya menjadi wewenang Pemerintah Daerah (Perda) untuk mengatur persebaran pembangunan hunian berimbang sesuai kebutuhan daerah.
Senada dengan Suharso, Kepala PUSPERKIM UGM Pusat Kajian Perumahan Rakyat Budi Prayitno mengatakan peraturan berbadan hukum yang mampu memberikan keputusan bagi nasib para pengembang adalah Peraturan Pemerintah (PP) bukan Permenpera.
“Aturan yang legal seharusnya tertuang pada PP, bukan cuma Permenpera. PP pun harus hasil lintas Kementerian seperti Kemenpera, KemenPU, Kemenkeu dan Kemendagri,” ujarnya.
Ketua HUD Institute Zulfi Syarif Koto menegaskan aturan hunian berimbang mrmpunyai niat baik untuk pemerataan perumahan rakyat dan mengurangi angka backlog. Namun dia menilai peraturan tersebut dipaksakan.
Menurut Zulfi, pengembang sebenarnya setuju dengan komposisi hunian berimbang tetapi butuh waktu untuk menerapkannya di lapangan
Zulfi juga mengingatkan bahwa tanggung jawab konstitusional dipegang oleh pemerintah, pengembang hanya memiliki tanggung jawab sosial dalam Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.
“Jangan semua tanggung jawab dibebankan ke pengembang. Pengembang bisa mati lah,” ungkapnya.
Masih menurut Zulfi, baiknya pasal 34 hingga pasal 37 Undang-Undang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) mengenai tanggung jawab badan hukum nonstate actor terhadap perumahan publik harus diluruskan dan dikembalikan ke konstitusi pasal 28H (ayat 1) UUD 1945.
Pasal tersebut berbunyi negara berkewajiban memenuhi hak bertempat tinggal, yang kemudian dirumuskan sebagai hak bermukim.
“Kalau perlu harus diadakan uji materi atau judicial review,” pungkasnya.