Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Keramik Indonesia (Asaki) menilai lonjakan tarif setrum lambat laun bisa menggerus daya saing produsen keramik domestik.
Ketua Umum Asaki Elisa Sinaga mengatakan pebisnis mesti mengkompensasikan lonjakan tarif dasar listrik kepada penaikan harga jual produk. Produsen yang tidak bisa bersaing di pasar bisa-bisa gulung tikar.
“Bukan hanya industri keramik, bagi industri lain inipun berat. Kami tidak tahu apakah nantinya kebijakan TDL ini bisa ditinjau ulang oleh pemerintahan baru,” ucap Elisa saat dihubungi Bisnis, Senin (13/7/2014).
Pebisnis lain dari kubu bahan galian nonlogam, yakni industri kaca, mengemukakan hal senada dengan Asaki. Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) memproyeksikan selepas November 2014 bisnis perusahaan papan atas di sektor ini bakal tergerus.
Kenaikan tarif setrum terhadap industri bahan galian nonlogam diperkirakan mendongrak biaya biaya produksi sedikitnya 10%. Kondisi ini juga berpotensi mengganggu kelangsungan pembangunan infrastruktur, apartemen, perhotelan, maupun perumahan rakyat.
Guna menekan dampak negatif terhadap industri, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengajukan beberapa usulan kompensasi kepada Kementerian Keuangan. Mulai dari penundaan pembayaran pajak pertambahan nilai (PPN) untuk industri yang pakai bahan baku lokal, pengurangan pajak penghasilan (PPh), hingga keringanan bea masuk impor mesin konversi energi/barang modal yang bisa mengirit biaya produksi.
“Tak banyak manfaat dari kompensasi itu, dampak langsungnya juga tak kelihatan. Yang kami inginkan, jangan naikkan tarif listrik lagi,” ujar Ketua III AKLP Yustinus Gunawan kepada Bisnis secara terpisah.
Sejauh ini belum diputuskan bentuk kompensasi apa yang akan diberikan kepada industri. Usulan terkait pajak sulit dikabulkan mengingat pemerintah sedang memperketat fiskal. Ini bertujuan menekan belanja sekaligus mendongkrak penerimaan mengingat defisit anggaran 2014 berpeluang sentuh level 4,96% terhadap PDB.
Kenaikan TDL untuk pelanggan industri I-3 dan I-4 diasumsikan menghasilkan penghematan subsidi Rp8,9 triliun. Di lain sisi, kebijakan ini terasa menyesakkan di dada pelaku industri karena harus mengejar berbagai bentuk efisiensi, mulai dari pengurangan kapasitas produksi sampai pekerja.