Bisnis.com, PADANG - Bank Indonesia memandang kebijakan di sektor riil menjadi kunci untuk mengatasi ketidakseimbangan eksternal di Indonesia, sehingga kebijakan moneter saja tidak cukup.
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar ruoiah hanya dapat menekan impor.
"Tapi, apakah kita akan tekan impor terus? Ini tidak baik dalam situasi ekonomi yang melambat," katanya dalam media briefing penyampaian Laporan Perekonomian Indonesia 2013, Minggu (8/6/2014) malam.
Menurutnya, industri Indonesia harus naik tingkat menjadi industri manufaktur yang berorientasi ekspor dan menyubstitusi impor. Industri manufaktur berorientasi ekspor diperlukan untuk menggeser ekspor yang selama ini hanya mengandalkan komoditas yang rentan pada fluktuasi harga.
Sementara itu, naiknya konsumsi barang-barang sophisticated, seperti gadget dan mobil, seiring pertumbuhan jumlah kelas menengah, terus mendorong impor. Juda menuturkan masalah ini harus disikapi dengan menumbuhkan industri bersangkutan di Tanah Air jika tidak ingin impor membesar.
"Kita harus meningkatkan kemampuan di bidang teknologi, produksi. Berikan insentif pada sektor yang berorientasi pada ekspor dan substitusi impor," ujarnya.
Dari sisi fiskal, lanjutnya, pemerintah harus mengurangi secara bertahap subsidi energi dan mengalihkannya untuk belanja infrastruktur.
Bank sentral memandang subsidi yang besar membuat APBN menjadi rentan ketika harga minyak naik dan nilai tukar rupiah melemah.
"Kita sudah tahu permasalahannya. Pemerintah sudah tahu, DPR tahu, masyarakat tahu, bahwa subsidi berlebihan tidak sehat. Cuma, bagaimana mengeksekusinya, bagaimana secara gradual mengurangi," ujar Juda.
Adapun mengenai ketidakseimbangan sektor riil, khususnya di bidang pangan, BI berpendapat penataan ulang lahan pangan harus serius dilakukan. Daerah yang menjadi lumbung pangan, seperti Karawang di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, harus dipelihara dan diintensifikasi.
Di bidang energi, diversifikasi ke energi baru terbarukan mutlak dilakukan. Konversi dari bahan bakar fosil ke bahan bakar nabati, seperti biodiesel dan bioetanol, harus terus dijalankan. Dari sisi suplai, peningkatan produksi dan efisiensi harus terus diupayakan.
"Semua ini memerlukan penguatan sumber daya manusia, peningkatan konektivitas, kualitas kelembagaaan dan produktivitas ekonomi, baik tenaga kerja maulun faktor produksi lain, seperti capital," ujar Juda.