Bisnis.com, PADANG - Bank Indonesia melihat reformasi struktural mendesak dilakukan karena Indonesia menghadapi tiga ketidakseimbangan perekonomian yang harus segera diatasi.
Pertama, ketidakseimbangan dari sisi eksternal yang ditunjukkan oleh transaksi berjalan yang defisit sejak 2011. BI sejauh ini menggunakan instrumen suku bunga acuan dan nilai tukar rupiah untuk menekan impor.
Sementara itu, pemerintah menggunakan instrumen kebijakan fiskal dengan menaikkan pajak penghasilan (PPh) impor dan mandatori penggunaan biodiesel untuk mengurangi konsumsi solar.
Dengan langkah itu, defisit transaksi berjalan yang sempat 4,4% terhadap produk domestik bruto pada kuartal II/2014, secara bertahap menyempit hingga mencapai 1,98% pada kuartal IV/2013 dan 2,06% pada kuartal berikutnya.
"Namun, defisit neraca perdagangan kita melebar lagi pada April yang mencapai hampir US$2 miliar. Jadi, ini masih menjadi sebuah tantangan yang kita hadapi ke depan," kata Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung dalam media briefing penyampaian Laporan Perekonomian Indonesia 2013, Minggu (8/6/2014) malam.
Kedua, ketidakseimbangan fiskal yang ditandai oleh tidak tercapainya target penerimaan pajak, sedangkan subsidi energi meningkat. Menurutnya, jika pemerintah tidak segera melakukan langkah memperbaiki perpajakan dan mekanisme subsidi, maka pelebaran defisit fiskal menjadi risiko.
Ketiga, ketidakseimbangan di sektor riil yang ditunjukkan oleh defisit energi dan pangan. Defisit energi selama ini dipicu oleh produksi minyak yang turun, sedangkan konsumsi bertambah. Akibatnya, RI bergantung pada suplai luar negeri.
Defisit pangan pun selama ini kerap memicu inflasi di dalam negeri. Cara penanganannya selama ini hanya bersifat jangka pendek, yakni mengimpor.
"Tugas inilah yang perlu reformasi struktural," ujarnya.