Bisnis.com, JAKARTA — Pengelolaan tata niaga timah oleh Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) dinilai justru telah menciptakan mekanisme pasar yang tidak berjalan sebagaimana semestinya (market failure) akibat ketidakseimbangan pasokan (supply) dan permintaan (demand).
Kegagalan tersebut merupakan perwujudan dari kegagalan kebijakan (policy failure) dan kegagalan pemerintah (government failure) dalam pengelolaan tata niaga timah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013.
“Permendag 32 yang mewajibkan perdagangan timah melalui BKDI justru menciptakan kegagalan pasar. Yang bersaing, hanya anggota BKDI, sedangkan pertambangan rakyat tersisihkan. Ini tidak menciptakan pasar persaingan sempurna,” kata peneliti senior Pusat Kajian Sumberdaya dan Pesisir Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Budi Purwanto, Sabtu (17/5/2014).
Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dari hasil riset dan kajian di lapangan terungkap bahwa melalui Surat Edaran Bersama Nomor 046/SEB/BKDI-ISI/X/2013 perihal Ketentuan Transaksi Bonafide pada Perdagangan Timah Batangan, disebutkan bahwa penjual yang dapat melaksanakan transaksi Bonafide wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas minimum 10.000 hektar.
Ketentuan tersebut, menurut Budi, jelas membunuh para pemilik Izin Pertambangan Rakyat. Ini merupakan salah satu dasar yang mensinyalir Permendag Nomor 32/MDAG/PER/6/2013 mendukung oligopoli dengan mendudukkan BKDI sebagai pengelola tata niaga timah di Indonesia.
“Padahal, larangan oligopoli jelas diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 5 Tahun 1999 sebagai kategori perjanjian yang dilarang,” tuturnya.